Jabatan bukanlah kejayaan dan
bukanlah tempat dimana seorang menjadi lebih santai. Jika seorang anggota hanya
fokus pada satu tujuan dan satu tugas yang melekat padanya namun jabatan
seorang pemimpin justru jauh lebih integral dan komprehenshif karena hampir
setiap hari menyelesaikan beberapa persoalan dari beberapa aspek di bawahnya.
Sehingga jabatan itu ditunaikan dengan
arti bahwa jabatan itu akan segera disadari sebagai amanah dan tanggung jawab
yang harus dipegang teguh serta dilaksanakan sebaik mungkin. Ketika kita
mengejar jabatan dan atau ingin punya jabatan maka itu semakna dengan dirinya
siap menjalankan amanah dan tanggung jawab yang untuk ditunaikan.
Kadang kala tidak sedikit orang yang
menikmati kehidupannya setelah tidak mempunyai jabatan, mengapa? Karena jabatan
tersebut sebenarnya tidak diinginkan ataupun diinginkan karena demi menjalankan
proses maka hal itu sudah sunnatullah atau ketentuan jalan hidup yang
tidak mau tidak harus dilewati sama seperti orang yang belum mempunyai
pasangan, siapa yang ingin bertunangan lebih dari satu kali? Tentu saja tidak
ada. Ia ingin satu kali bertunangan maka tunangan itu sudah menjadi jodohnya
maka tidak semudah itu ketentuan Allah lebih kuat daripada kehendak mahluknya.
Lalu apa yang salah jika jabatan itu
dinikmati? Bukankah fasilitas melekat pada jabatan itu? Nah justeru itulah titik
permasalahannya. Sebab jika dinikmati dan karena sebab fasilitas maka ketika
sudah tidak menjabat maka hilanglah kenikmatan dan fasilitas tersebut ada
kemungkinan lega dan kemungkinan pula berat.
Maka jabatan dengan demikian jabatan bukan untuk dinikmati melainkan ditunaikan. Penunaian jabatan itu semakin menjadi sebuah kewajiban besar saat jabatan itu hadir dalam konteks tantangan waktu. Konsekuensinya dalam merespon amanah jabatan sungguh besar semakin tinggi jabatan maka semakin besar pula tanggung jawabnya, maka itu adalah qadrat yang sulit dan tidak mudah dihindari bagi yang ingin lari dari jabatan itu.