(sumber
gambar : https://www.winnetnews.com/post/mau-tau-doi-setia-atau-nggak-nih-caranya)
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا
رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ
أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ
تُوعَدُونَ
Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan
mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah
mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu” (QS. Fussilat: 30)
Makna Kata
Jika anak
milenial ditanya tentang kemungkinan topik yang berkaitan dengan kata “setia”,
besar kemungkinan mayoritas mereka akan meletakkan topik cinta pada pilihan
pertama. Ini sangat wajar karena kata ini memiliki kaitan erat dengan yang
namanya “relationship”, dan kata “relationship” biasanya
disempitkan maknanya pada soal percintaan. Lihat saja bagaimana FaceBook meletakkan
kata “relationship status” dan memberikan beberapa alternatif pilihan
semisal single, married, in relationship, dan lain
sebagainya. Belum lagi, kata “setia” adalah kata yang paling sering
diperbicangkan dalam hubungan percintaan. Kalau wanita ditanyakan kriteria lelaki idamannya, salah satu jawaban
teratasnya biasanya “setia”.
Kemudian, jika semisal kita dipaksa
harus “mengislamkan” kata setia, atau setidaknya menganalisis kata “setia” dari
perspektif Islam, pertanyannya, apa padanan kata dalam Islam atau bahasa arab
yang bisa mewakili makna kata “setia”. Bila pertanyaan itu diajukan ke laman
web google translate, ada dua pilihan kata yang muncul sebagai terjemahan kata
“setia”, yaitu mukhlis dan amin. Dua
kata itu sebenarnya tidak secara tepat menunjuk kata “setia” yang kita kenal
dalam bahasa Indonesia. Mukhlis atau ikhlas berarti “ikhlas, tulus”, sementara amin atau iman
berarti “(di)percaya”. Keduanya memang masih
berkaitan dengan kata “setia”, meski tidak
bisa disebut mewakilinya secara tepat.
Dalam kitab “At-Ta’rifat” dua
kata yang dianjurkan si “mbah google” didefinisikan sebagai berikut:
الإخلاص في الاصطلاح: تخليص القلب عن
شائبة الشوب المكدر لصفاته، وفرق آخر: الإخلاص لا يكون إلا بعد الدخول في
العمل. والإيمان في الشرع: هو الاعتقاد بالقلب والإقرار باللسان.
Ikhlas
adalah kesucian hati dari noda yang dapat mengotori sifat kesuciannya. Ikhlas
tidak dapat dirasakan sebelum melaksanakan sebuah perbuatan. Sedangkan Iman
adalah keyakinan yang terdapat dalam hati dan dikuatkan dengan pengakuan
melalui lisan.
Uraian Kata
Sebetulnya
cukup menarik kalau kita meletakkan kata “setia” bersanding dengan kata
“ikhlas” dan “iman”. Setidaknya ada dua hal yang penting untuk diuraikan untuk
menggambarkan arti “setia” dalam hal ini:
Pertama, ikhlas dan iman lebih banyak
berbicara pada level hati (hakikat dan makrifat). Iman memastikan hati kuat,
sementara ikhlas berkontribusi untuk menjaga hati tetap sehat. Kalau kita
bangun jam 3 malam untuk tahajjud, mungkin karena iman telah mendukung dengan kuat. Saat kita memaksakan diri
menahan lapar dan dahaga dalam berpuasa, itu juga karena iman kita yang menjadi
penyokong. Namun, yang memastikan bahwa tahajjud tidak untuk
membanggakan diri di hadapan orang lain, bahwa puasa hanya demi ridla-Nya, itu
menjadi tugas dari ilmu ikhlas.
Iman juga berbicara tentang sebuah
pilihan. Tapi ini bukan sembarang pilihan, karena ini tentang pilihan yang
tidak boleh main-main. Sekali memilih Islam, maka tidak bisa berubah arah dan
memilih yang lain. Kalau itu dilakukan,
akan dikenakan hukum murtad dan masuk dalam kategori pelanggaran pidana (jarimah) dalam
Islam. Sedangkan keikhlasan lebih kepada memastikan bahwa pilihan itu
dijatuhkan atas alasan yang tulus. Kata “tulus” itu merujuk pada segala sesuatu
yang bersifat luhur. Di antara ciri nilai luhur adalah berlaku tidak temporal
dan sifatnya abadi. Inti dari kesetiaan juga terletak dalam hati. Ia mengenai
sebuah perasaan, indera terdalam yang sama-sama bisa merasakan sakit dan
nyaman, sama persis seperti indera luar. Untuk mencapai maqam (posisi)
setia, harus bisa melakukan
apa yang diajarkan oleh ilmu “iman” dan “ikhlas”.
Kedua, ikhlas tidak akan terwujud tanpa
adanya action. Pun demikian dengan iman. Keduanya meniscayakan tindakan
konkrit untuk menjadi sebuah kenyataan. Kalau tidak, maka keduanya pun akan
selamanya menjadi benda ghaib yang tak bisa dirasakan faedah dan keberadaannya.
Manusia disebut utuh jika telah berhasil menyatukan perbuatan
dengan hati. Itulah kenapa lawan kata iman adalah kata-kata semacam kafir,
fasiq, atau munafiq. Ketiganya sama-sama merujuk pada
adanya persoalan dalam keyakinan dan perbuatan. “Jangan
menyebut hatimu setia pada satu wanita, sementara bibirmu menyatakan cinta
pada banyak
wanita,” begitu kata kids zaman now. Maka,
kesetiaan (iman dan ikhlas) pasti mengalami ujian. Repotnya, ujian kesetiaan
itu berlangsung seumur hidup.
Tafsir
Kata
Ada satu kata yang juga
memiliki kedekatan makna dengan “setia”, yaitu kata “istiqomah”. Arti istiqomah
–kata al-Jurjani- adalah memenuhi semua janji, tidak melenceng, perpaduan
antara melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Dikisahkan dalam sebuah
riwayat bahwa Rasul bersabda, “Surat Hud membuatku beruban, yaitu ketika ketika
Allah menurunkan ayat: Maka istiqomahlah sebagaimana engkau diperintahkan”.
Dalam
surat Fussilat ayat 30, Allah memuji orang yang beriman dan lantas istiqomah
dengan menjanjikan kebahagian hakiki. Imam Arrazi saat menafsirkan ayat
tersebut menyimpulkan bahwa istiqomah mengandung dua pengertian. Pertama,
teguh pendirian dalam agama dan tauhid. Abu Bakar berkata: “Teguh pendirian (istiqomah)
maksudnya adalah tidak berpaling pada tuhan selain Allah.” Kalau setia di-sama
arti-kan dengan istiqomah, maka ciri setia cukup sederhana, yaitu tidak
menyekutukan Allah.
Kedua, istiqomah berarti melaksanakan amal-amal
kebaikan. Sebab, pernyataan “Tuhan saya Allah” hanya mencakup perkataan lisan
dan keyakinan hati. Padahal seorang mukmin juga dituntut dengan berbagai
kewajiban amal yang lain. Oleh karena itu, iman memiliki puluhan cabang yang di
dalamnya ada yang bersifat spiritual dalam hati, ada yang berbentuk perilaku
individual, dan ada yang berbentuk perilaku sosial lainnya. Rukun Islam seperti
shalat, zakat, puasa, dan haji juga masuk dalam cabang-cabang iman. Nabi Saw
menjelaskan:
Iman itu terdiri dari tujuh
puluh atau enam puluh enam puluh cabang lebih. Yang paling utama ialah
pernyataan “Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah SWT” dan yang
terendah ialah menyingkirkan rintangan atau kotoran dari jalan, sedang rasa
malu itu juga merupakan salah satu cabang iman. (HR. Muslim)
Jadi,
orang yang setia atau istiqomah dalam keimanan pasti orang baik, karena
keimanannya dibuktikan dalam semua perilakunya. Ia lebih tidak mungkin berbuat
jahat dan melakukan hal buruk pada orang lain, sementara pada diri sendiri saja
tidak mungkin. Maka, orang yang berimana –kata Nabi- tidak mungkin berzina,
mencuri, dan melakukan perbuatan kotor lainnya.
Dalam pengertian yang lebih
tinggi, beriman dapat diartikan dengan mencintai. Beriman pada Allah dan
Rasul-Nya artinya mencintai Allah dan Rasulnya. Dengan pemahaman demikian,
beriman itu menjadi sebuah keindahan dan keikhlasan. Tidak lagi berwujud aturan
dan paksaan yang menjerat. Jika seseorang mencintai kedua orang tua, maka ia
pasti akan berusaha melakukan sesuatu yang menyenangkan kedua orang tuanya dan
menghindari perbuatan yang membuat marah keduanya. Demikian juga, seseorang
yang mencintai Allah dan Rasul-Nya akan membuktikan cintanya dengan tidak
melakukan perbuatan apapun kecuali untuk Ridla-Nya.
Di sini dapat dilihat
keterkaitan dan keterikatan kata “setia” dengen beberapa istilah seperti iman,
ikhlas, istiqomah, dan cinta. Semuanya merujuk pada keluhuran niat dan kebaikan
amal budi. Puncak dari semuanya adalah persaksian atas ketauhidan. “Tiada tuhan
selain Allah” adalah pintu gerbang untuk masuk ke dalam dunia Islam dan Iman.
Kalimat tersebut mengandung kebenaran absolut dan abadi. Maka, kesetiaan
tertinggi adalah kesetiaan pada kalimat tauhid. Jenis kesetiaan yang lain
adalah cabang atau turunan yang puncaknya akan bermuara pada kesetiaan tertinggi.
“Keluarkanlah dari neraka orang yang dihatinya terdapat secuil iman,” demikian
potongan perintah Allah dalam sebuah hadits.
Hakikat
Kata
Tidak ada satupun perbuatan
yang hakikatnya tidak berasal dari Allah. Dalam rukun iman, takdir baik dan
buruk harus diyakini berasal dari ketetapan Sang Maha Kuasa. Allah berkuasa
memberi petunjuk pada siapapun yang dikehendaki dan juga berkuasa menyesatkan
siapapun yang dikendaki. Berbeda dengan kesetiaan pada makhluk yang pada
umumnya transaksional dan temporal, kesetiaan pada Allah idealnya bersifat
searah dan abadi. Kesetiaan searah inilah yang kemudian populer disebut ikhlas.
Terhadap mereka yang masih berpikir transaksional saat membuktikan kesetiaan,
Ibn Athaillah menyindir:
كيف تطلب العوض على عمل هو متصدق به
عليك؟ ام كيف تطلب الجزاء على صدق هو مهديه اليك؟
Bagaimana mungkin kamu
meminta upah atas amalmu, sedangkan Allah lah yang memberikan amal itu
kepadamu? atau bagaimana mungkin engkau menuntut balasan atas
kejujuran/ibadahmu, sedangkan Allah lah yang memberikan ibadah itu kepadamu?
Setia
itu karakter yang mestinya melekat pada seorang hamba. Menjadi hamba Allah
adalah status tertinggi bagi makhluk. Orientasinya hanyalah melayani dan
mengupayakan pengabdian sempurna pada Sang Kekasih meski itu mustahil
diwujudkan. Tidak ada yang lebih membahagiakan pada dirinya selain ditakdirkan
menetapi aturan yang dititahkan-Nya.
Setia
itu perilaku orang yang berpikir rasional dan obyektif. Ia sadar bahwa
keberadaannya di dunia tidak atas dasar kemauannya sendiri. Bahkan ia sendiri
tidak mampu melakukan kontrol atas lama hidupnya. Ia sepenuhnya menyadari bahwa
ia tidak memiliki saham atas semua yang ia peroleh. Secara hakikat, seluruh
dirinya adalah ciptaan dan milik Allah. Atas dasar itu, tidak ada noda
kesombongan atas prestasi kebaikan yang ia lakukan. Begitu juga tidak ada raung
keluhan atas ketidaknyamanan yang mungkin menimpanya. Sebagai seorang hamba, ia
setia untuk selalu melihat dan mengembalikan segalanya kepada Sang Pencipta,
Allah SWT.