(sumber gambar : https://jalandamai.org/wp-content/uploads/2017/04/Agama-dan-Politik-990x556.jpg)
Datangnya
era reformasi telah mempopulerkan politik dan diskusi tentang demokrasi di
Indonesia. Saat ini, topik politik tidak hanya menjadi konsumsi kalangan elit
saja, warung kopi di pojok desa pun penuh sesak dengan obrolan seputar politik.
Model pemilihan langsung yang berbarengan dengan penguatan sistem otonomi
daerah telah menyita dan menguras perhatian serta energi semua lapisan
masyarakat. Sayangnya, penghargaan terhadap nilai suara individu masyarakat
yang merupakan produk positif dari reformasi tidak dibarengi dengan perubahan
mental dan budaya berpolitik bangsa Indonesia.
Kebebasan sebagai buah dari perjuangan
reformasi menjadi kebebasan yang diaplikasikan secara liar oleh masyarakat.
Otonomi daerah menjadi ajang korupsi dalam skala yang lebih kecil dan merata di
setiap kabupaten, kecamatan, bahkan desa. Pemilihan langsung menambah beban
biaya demokrasi yang memang telah sangat mahal. Bahkan, seorang calon Kepala
Desa saja, konon kabarnya, sampai harus menghabiskan “biaya demokrasi” hingga
ratusan juta rupiah hanya untuk dapat menjadi kepala di sebuah kantor kelurahan.
Maka bisa kita bayangkan berapa anggaran yang harus dipersiapkan oleh seorang
calon Bupati, Gubernur, atau Calon Legislatif DPR RI untuk meluluskan niatnya
menduduki kursi-kursi “agung” itu.
Saya bukan antipati terhadap politik. Saya juga
tidak memfatwakan haramnya berpolitik. Dalam kajian keislaman, perihal politik
ini masuk dalam bagian pembahasan fiqh al-siyasah atau fikih politik. Bagi
saya, gagalnya sistem politik dewasa ini bukan karena buruknya sistem yang ada
atau minimnya kompetensi pelaksananya. Rusaknya sistem politik Indonesia karena
keringnya sistem itu dari nilai-nilai religiusitas yang menaungi berjalannya
sistem tersebut.
Nilai-nilai religiusitas itu pondasi, sifat,
karakter, dan tujuan akhirnya adalah akhirat. Sementara politik itu baik
landasan, metode, maupun ukuran kesuksesannya selalu dibatasi dengan matematika
duniawi. Dalam diskusi tasawwuf, “dunia” itu selalu dianalogikan dengan yang
jelek-jelek dan buruk-buruk, karena sifatnya yang temporal (fana’).
Sebaliknya, “akhirat” selalu ditempatkan dalam kasta yang lebih tinggi dan
penting, karena sifatnya yang abadi (baqa’) dan merupakan terminal
akhir dari episode sejarah manusia.
Maka cukup beralasan lah kalau kemudian banyak
orang yang melarang atau tidak menyarankan “orang baik” untuk masuk dunia
politik. Mereka khawatir kalau “orang baik” atau kita sebut saja di sini “orang
akhirat” tersebut menjadi bermata dan berhati dunia, sehingga lalu berubah
menjadi “orang dunia”. Padahal menurut hemat saya, sangat penting untuk
memasukkan orang-orang “akhirat” tersebut ke dalam dunia politik. Karena kalau
tidak, maka selamanya politik Indonesia tidak akan bisa di-baik-kan atau dalam bahasa
tasawwufnya di-akhirat-kan. Jika itu yang terjadi, maka bersiap-siap saja untuk
mendengar fatwa diharamkannya politik. Kalau tidak MUI yang berfatwa, maka
biar saya yang melakukannya. Kalau pun toh tidak ada yang mendengar dan
mentaati fatwa saya, maka cukuplah fatwa itu untuk diri dan keluarga saya. Politik
tanpa diakhiratkan adalah neraka, dan agama memerintahkan saya minimal untuk menyelematkan
diri dan keluarga saya dari potensi tersiksa dalam neraka.
Tentu saja ini tidak berarti bahwa saya
menyarankan semua orang-orang baik untuk masuk politik. Sekedar menjadi orang
baik tidaklah cukup sebagai modal berpolitik. Ia juga harus telah dibekali
dengan pemahaman ilmu politik atau yang saya sebut dengan fiqh al-siyasah
tadi. Kalau menjadi seorang koki masakan saja membutuhkan bekal ilmu, apalagi untuk
menjadi politisi yang urusannya langsung terkait dengan kemaslahatan masyarakat.
Rusaknya perpolitikan di negara tercinta kita
ini tidak terlepas dari gagalnya sistem politik kita dalam menyatukan kualitas
‘baik dan berilmu’ pada diri seorang politisi. Politisi yang berilmu tapi tak
baik sudah pasti hanya akan menjadikan politik sebagai pemuas nafsunya saja.
Sementara yang baik tapi tak berilmu akan lebih sering diwarnai dari pada
mewarnai, lebih mudah dipengaruhi daripada mempengaruhi. Sayangnya, dua model
politisi semacam ini yang saat ini mendominasi kancah perpolitikan Indonesia.
Politik itu sudah terlalu kental aroma
duniawinya. Itulah kenapa saya merasa penting untuk –dalam bahasa saya- “mengakhiratkan
politik”. Selain dengan memasukkan orang-orang “akhirat”, upaya untuk
akhirat-isasi politik juga harus dengan memasukkan nilai-nilai ukhrawi
yang tidak dipakai atau bahkan mungkin sebagiannya justru di”haram”kan dalam
praktek berpolitik. Sebut saja misalnya nilai keikhlasan yang seolah menjadi
nilai langka dan “haram” dalam politik.
Dalam dunia demokrasi,
pertanyaan-pertanyaan seputar keikhlasan memang tidak terlalu penting untuk
dihiraukan. Namun sebagai bangsa yang masih menjunjung tinggi nilai dan etika agama,
ada baiknya kita kembali merenungkan budaya tidak sehat ini. Proses yang
dilalui untuk menjadi seorang pemimpin diakui atau tidak pasti berpengaruh
terhadap kepemimpinan yang akan dijalankan. Ada sebuah kaidah yang menyatakan,
“al-ghoyah la tubarriru al-wasilah” (tujuan yang ingin dicapai tidak
bisa menghalalkan penggunaan segala cara). Secara alamiah, kampanye mutlak
diperlukan. Hanya saja keihklasan dan amanah dalam berkampanye juga penting
untuk dibudayakan. Tidak penting dalam skala apa kita memimpin. Menjadi kepala
negara atau mungkin sekedar kepala sekolah, nilai keikhlasan dalam memimpin
sangat penting untuk dikedepankan.
Oleh karenanya, menurut saya, kata kerja yang
cocok mendampingi dunia politik adalah “mengabdi”, bukan “bekerja”. Sebab,
penekanan terhadap profesionalitas dalam berpolitik juga harus dibarengi dengan
menekankan niat ta’abbud lillah (beribadah kepada Allah). Mengabdikan
diri kepada masyarakat tidaklah dimaksudkan untuk menduakan Allah. Keduanya
bisa berjalan bersamaan dan tidak saling bertentangan. Dalam sebuah hadis
misalnya, Nabi pernah bersabda, “Allah akan selalu membantu hambanya selama
hamba tersebut mau membantu saudara-saudaranya yang lain”.
Hadis tersebut mengindikasikan bahwa sejauh
pengabdian yang dilakukan seorang pemimpin benar-benar total untuk kepentingan
masyarakat, maka nama Allah juga secara otomatis telah include di
dalamnya. Tidak banyak pemimpin yang memiliki semangat total dalam mengabdi.
Umumnya pemimpin saat ini masih selalu berhitung feedback yang akan
mereka dapatkan nantinya. Kalau tidak mengincar
materi yang berlimpah, banyak pemimpin mengincar popularitas demi karir mereka
selanjutnya. Padahal dengan pengabdian total kepada masyarakat, keduanya bisa
saja merupakan konsekuensi logis yang telah menjadi skenario Allah. Yang baik
di mata Allah, pasti juga baik dalam persepsi masyarakat. Namun sebaliknya,
populer di tengah masyarakat, belum tentu memiliki kedudukan tinggi di sisi
Allah.
Sebagian besar pemimpin
yang ada saat ini memang merupakan produk politik, sehingga kebijakan-kebijakan
yang diambil juga sarat dengan muatan politis. Ini yang menurut saya harus
diluruskan. Jangan sampai seorang pemimpin menukar masa depan umat dengan
hitung-hitungan politis. Proses politik dalam tahap pra-memimpin tidak seharusnya
berlanjut dalam kebijakan-kebijakan politis yang pada akhirnya dapat merugikan
umat. Penempatan seseorang dalam jabatan tertentu tetaplah harus
memperhitungkan kapabilitas orang tersebut. Tidak hanya bagi-bagi kursi dan
kekuasaan dengan pertimbangan kontribusi politik semata.
Itulah mengapa sebuah
keikhlasan memiliki arti sangat penting dalam dunia kepemimpinan, termasuk juga
dalam berpolitik, karena niat adalah langkah awal yang menentukan baik atau
buruk langkah selanjutnya. Bila seseorang ingin menjadi pemimpin untuk mengejar
materi atau popularitas semata, bisa dibayangkan apa yang akan ia lakukan saat
berkuasa nantinya.
Mengakhiratkan politik itu tidak berarti membuang
seluruh unsur ”dunia” dari kegiatan politik, karena ilmu politik itu memang
berisi seperangkat tata cara mengelola manusia sebagai penghuni dunia.
Mengakhiratkan politik itu pada prakteknya adalah mendunia-akhiratkan politik.
Praktek, tools, dan metodenya mungkin duniawi. Tapi landasan, nilai,
karakter, dan tujuan akhirnya haruslah ukhrawi. Berikhtiar dan berdoalah agar
Allah segera membantu percepatan proses mengakhiratkan dunia politik Indonesia.
Wallahu a’lam bi al-showab.