(Sumber Gambar : https://www.tagar.id/Asset/uploads2019/1587909084853-ilustrasi-puasa.jpg)
Definisi
Modernisme dalam arti luas
bermakna segala pemikiran, karakter dan praktek dunia modern. Secara lebih
khusus, modernisme mengacu pada gerakan kebudayaan yang menganggap bahwa
pemahaman tradisional dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kepercayaan
agama, telah ketinggalan zaman seiring dengan perkembangan sektor industri dan
teknologi. Penolakan terhadap doktrin tradisional lebih jauh membuat sebagian
kaum modernis cenderung untuk menegasikan keberadaan ajaran agama alias atheis.
Bahkan, sebagaimana didengungkan oleh Karl Marx, agama tak ubahnya diibaratkan
“candu” yang alih-alih membawa kedamaian sejati pada pemeluknya, malah membutakan
seseorang dari realitas kehidupan yang dijalaninya.
Di
sisi lain, puasa secara harfiah berarti menahan diri. Dalam Islam, term
puasa mengacu pada suatu bentuk peribadatan yang mengharuskan pelakunya untuk
menjaga diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa, seperti makan, minum,
dan bersenggama dimulai sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Namun, untuk konteks yang lebih luas, makna puasa bisa dikembangkan pada apapun
yang intinya berkaitan dengan pengendalian diri (self control).
Sehingga, puasa tidak hanya menjadi sebuah ajaran yang berkaitan dengan wilayah
religius dalam arti sempit, melainkan juga bisa bergerak dalam wilayah ekonomi,
politik, dan budaya. Pelakunya pun tidak mesti tunggal. Bisa keluarga,
organisasi, partai politik, dan bahkan pemerintah.
Puasa
dengan segala kesejatiannya, bagi saya, adalah solusi untuk menjembatani jurang
yang seringkali memisahkan modernisme dari nilai-nilai dasar agama. Saya
percaya bahwa hanya dengan mental “puasa”, kebahagiaan “lebaran” dapat diraih. Jangan
seperti sekarang. Semuanya berlebaran, biasa mencari jalur instan, dan
ujung-ujungnya sudah pasti kebablasan. Persis seperti nasib demokrasi atau
reformasi yang kita puja-puja saat ini. Bangsa yang ingin berlebaran secara
politik, ekonomi, budaya, maupun teknologi harus berani mengambil sikap
revolusioner untuk “mempuasakan” berbagai bidang tersebut. Dikomandani
pemerintah, masyarakat harus terlebih dahulu secara bersama-sama melakukan
“puasa” politik, ekonomi, budaya dan teknologi.
Mem-puasa-kan Politik
Meski politik bisa merujuk pada berbagai upaya atau cara
untuk meraih sesuatu yang dikehendaki, namun makna politik sudah mengerucut
pada kekuasaan yang bersinggungan dengan Negara atau Pemerintahan. Dalam porsi
yang lebih spesifik biasa digunakan untuk menunjuk sebuah aktivitas yang
berkaitan dengan partai politik, parlemen, atau tata kelola pemerintahan.
Singkatnya, politik sangat identik dengan perebutan atau kompetisi meraih
kekuasaan atau jabatan dalam struktur pemerintahan. Mulai dari Kepala Desa, Bupati,
Gubernur, anggota parlemen, hingga yang paling bergengsi, yaitu kontestasi
Pilpres.
Puasa politik itu adalah kemampuan seseorang untuk
mengendalikan nafsu berkuasanya dalam batas-batas tertentu, sehingga
memungkinkannya selamat dari murka Allah. Mengendalikan itu berbeda dengan
mematikan. Mematikan sama sekali ambisi politik bukanlah pilihan yang bijak.
Apa jadinya kalau jabatan politik justru dikuasai oleh para penjahat. Kita
harus memastikan bahwa orang-orang yang duduk pada jajaran pemerintahan ataupun
lembaga-lembaga Negara haruslah mereka yang mampu menjalankan “puasa politik”.
Seorang
pejabat atau politisi yang mempraktekkan “puasa politik” akan sepenuhnya
menyadari bahwa ia dilarang melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasanya.
Tidak perlu ada polisi, kejaksaan, apalagi KPK untuk mengawasi orang semacam
ini. “Puasa”nya adalah kontrak vertikal yang mengikat dirinya dengan Tuhannya.
Jabatan atau status apapun yang ia emban, sepenuhnya ia yakini sebagai amanah
yang kelak akan dipertanggung jawabkan di hadapan-Nya. Ia mampu mengendalikan
dirinya untuk tidak perlu repot-repot menghalalkan segala cara demi keamanan
kursinya. Ia juga tidak suap sana suap sini hanya untuk meminta kenaikan level
jabatannya. Ia sedang berpuasa. Kendali nafsu berada di tangannya dan ia
memegang otoritas penuh akan hal itu. Saat ada godaan money politic atau
suap -selayaknya pelaku puasa yang disuguhi makanan-, seorang pejabat atau
politisi yang menjalankan laku “puasa” akan dengan lembut tapi tegas menjawab,
“maaf saya sedang berpuasa”.
Realitas
politik modern amat jauh dari deskripsi di atas dan oleh karenanya harus
dibersihkan melalui medium “puasa”. Salah satu fungsi puasa bagi kesehatan
adalah kemampuannya dalam mendetoksifikasi tubuh dari racun yang menumpuk.
Dalam prosesnya, metode puasa dinilai mampu membakar setiap racun berbahaya
yang mungkin hadir dalam timbunan lemak di tubuh manusia. Demikian pula
seharusnya out put dari mempuasakan politik. Racun-racun yang berwujud
curang, tidak jujur, dholim, serakah dan sejenisnya mesti dibuang dari arena
politik. Akhirnya, para politisi dan pejabat yang dalam perjalanannya terbukti
tidak mampu berpuasa, maka ia batal amanahnya, kekuasaanya, dan bisa jadi batal
juga kehidupannya.
Puasa Teknologi Informasi
Modernisme dengan seperangkat
kemajuan yang dibawanya di bidang teknologi seolah telah menciptakan tatanan
dan aturan baru bagi dunia dan penghuninya. Mereka yang tidak mampu beradaptasi
mengikuti perkembangan ini akan dicap ketinggalan zaman, kampungan, atau out
of date. Kemajuan teknologi informasi, misalnya, menjadikan dunia serasa
lebih kecil, ringkas, padat, dan praktis. Mengirim surat ke luar negeri tidak
perlu memakan waktu berhari-hari atau berbulan-bulan. Cukup dalam hitungan
detik melalui layanan email. Berita yang terjadi di benua lain bisa diketahui
dan diakses hanya dalam hitungan menit. Bahkan bercakap-cakap dengan orang yang
bermil-mil jauhnya bisa dilakukan seolah saling berhadap-hadapan. Modernisasi
teknologi informasi disebut telah mencapai sebuah tahap yang boleh jadi tidak
pernah terimajinasi sebelumnya.
Sayangnya, kemudahan akses informasi oleh individu tidak
dibarengi dengan kemampuan untuk memfilter, memilah, dan memilih informasi yang
diperoleh. Teknologi yang semula diciptakan untuk membantu kemudahan hidup
manusia lambat laun justru mengatur dan menguasai cara hidup manusia. Puasa
dalam konteks teknologi, dengan demikian, bergerak minimal ke dalam dua konteks
pengendalian: Pertama, mengendalikan kualitas informasi yang kita konsumsi.
Kedua, mengendalikan ketergantungan pada hasil-hasil teknologi.
Di
dalam ilmu psikologi, terdapat dua dari jenis kontrol diri yang relevan dengan
topik yang sedang kita bahas: Cognitive
control dan Behavioural Control. Cognitive control adalah kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak
diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai dan menggabungkan suatu
kejadian dalam sutu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau untuk
mengurangi tekanan. Dengan informasi yang dimiliki oleh individu terhadap
keadaan yang tidak menyenangkan, individu berusaha menilai dan menafsirkan
suatu keadaan dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subyektif atau
memfokuskan pada pemikiran yang menyenangkan atau netral. Sedangkan Behavioral control (kontrol sikap) didefinisikan sebagai
kemampuan untuk mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak
menyenangkan. Adapun cara yang sering digunakan antara lain dengan mencegah
atau menjauhi situasi tersebut, memilih waktu yang tepat untuk memberikan
reaksi atau membatasi intensitas munculnya situasi tersebut.
Sejatinya, tanpa banyak disadari sebagian besar kalangan,
hardware dan software otak masyarakat kita seringkali
mendapat informasi yang tidak mampu diklarifikasi kebenarannya. Mereka menyerap
semua informasi tanpa memiliki kemampuan untuk memilah kepalsuan dari
kebenaran. Ayam saja bila dilempar kerikil dan jagung pasti akan memilih dan
mematuk jagung untuk dimakan. Tapi, masyarakat acapkali melahap apapun
informasi yang disuguhkan media kepada mereka. Tidak salah kalau invasi
program-program televisi yang tayang non-stop 24 jam, berita-berita di media
cetak dan berbagai situs online yang minim nilai-nilai edukatif diyakini secara
pelan tapi pasti telah menjadikan manusia tidak lagi bermoral. Dunia maya
-mengutip perkataan Yasraf C. Pilliang- merupakan gabungan antara kebenaran dan
kepalsuan. Seluruh bentuk kebenaran bersanding pada saat bersamaan dengan
bentuk-bentuk kejahatan. Menghadapi realitas semacam ini, “puasa” adalah salah
satu solusi yang bisa dijadikan opsi. Cobalah mengendalikan diri dalam
mengkonsumsi asupan informasi yang anda terima. Analisalah kualitas sumber dan
konten sebuah berita sebelum mengkonsumsinya menjadi sebuah informasi.
Selanjutnya, batasilah ketergantungan pada alat-alat
teknologi yang seolah menjadi Tuhan kedua pengatur jadwal hidup dan cara
berpikir manusia moderm. Berbagai jenis gadget menjadi barang wajib yang
mesti dibawa kemanapun mereka pergi. Tanpa bantuan alat-alat tersebut, mereka
seolah menjadi manusia bingung, linglung, hilang akal, dan tak tenang. Mungkin
derajat pentingnya teman teknologi mereka itu sudah selevel dengan pentingnya
asupan oksigen bagi tubuh. Padahal di balik ribuan manfaat yang bisa mereka
peroleh dari teknologi canggih itu, terdapat jutaan sisi negatif yang siap
menginvansi cara hidup mereka. Penyakit kecanduan semacam ini bisa diterapi
melalui metode “puasa”. Manusiah yang sepatutnya mengendalikan teknologi dan
bukan sebaliknya. Dalam beberapa kesempatan, sengajakanlah untuk meninggalkan gadget
dan media-media elektronik yang selama ini telah menyandera kehidupan manusia.
Puasalah memegang hand phone, menonton televisi, mengakses internet dan
kegiatan sejenisnya untuk beberapa waktu. Jadilah manusia tradisional. Dengan
menjadi manusia non-modern, engkau akan justru diberi kemampuan melihat
modernitas dari berbagai sisi secara utuh. Untuk melihat bentuk asli rumah,
sekali-kali engkau harus keluar rumah dan tidak hanya duduk manis atau bermain
di dalamnya.
Epilog: Puasa dan Self
control
Kontrol diri atau self control adalah kemampuan individu untuk mengarahkan tingkah lakunya sendiri dan kemampuan untuk menekan atau menghambat dorongan yang ada. Ia juga bermakna kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu kearah konsekuensi positif. Puasa mengajarkan kita untuk dapat melakukan penegendalian diri, bahkan kepada sesuatu yang halal sekalipun. Globalisasi, modernisasi, atau apapun namanya hanyalah merupakan sebuah perubahan dalam hidup manusia. Jangan sampai manusia ikut terseret dalam arus menyesatkan di dalam pusarannya. Modernitas itu berkembang sejalan dengan semakin tidak terkekangnya nafsu manusia dan egosentrisme individu. Nilai-nilai puasa mendidik manusia untuk memiliki kapabilitas dalam memberikan jarak yang tegas antara nafsu atau ketamakan dengan hakikat kebenaran sebagai sebuah kesejatian.