(Sumber gambar : https://shirotulmustaqim.com/wp-content/uploads/2017/11/Berpadunya-Kemaksiatan-dan-Ketaatan-pada-Diri-Seseorang-620x420.jpg)
معصية أورثت ذلا وافتقارا خير من طاعة أورثت عزا واستكبارا
Maksiat yang membawa
pelakunya pada perasaan hina dan butuh (mendekatkan diri) pada Allah lebih baik
daripada ketaatan yang menimbulkan rasa agung
diri dan disertai kesombongan (Ibn ‘Athaillah)
Kuncinya
adalah Hati
Semestinya merupakan hal yang wajar bila seorang Muslim
merasakan ketenangan saat telah menunaikan ketaatan dan merasakan ketakutan
setelah melakukan kemaksiatan. Dalam ranah dlohir, secara kasat mata, ketaatan adalah
mutlak sebuah kabaikan. Sementara kemaksiatan –sekecil apapun bentuknya-
tetaplah kesalahan. Namun, struktur bangunan amal seseorang tidaklah terjadi
berkat kontribusi aktivitas jasmani saja. Amal tidaklah terwujud tanpa ada
campur tangan rohani yang biasa dikenal dan diwakili oleh hati. Dalam hadis
Nabi unsur terakhir justru disebut sebagai tolak ukur baik buruknya aktivitas
jasmani seseorang.
“Ingatlah bahwa dalam jasad itu ada sekerat daging, jika
ia baik, baiklah jasad seluruhnya, dan jika ia rusak, maka rusaklah jasadnya
seluruhnya. Ingatlah, ia adalah hati (al qolbu)”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dua orang Muslim yang sama-sama melakukan sholat empat
rakaat sama bisa memiliki nilai yang berbeda, bila orang yang pertama
meniatkannya untuk sholat sunat, sementara orang yang lain berniat sholat fardlu.
Pembedanya terletak dalam niat. Atau sama-sama melakukan sholat shubuh,
tapi yang pertama melakukannya ikhlas karena Allah, sementara yang lain karena riya’
di hadapan manusia. Sudah tentu yang pertama menuju “surga” karena
keikhlasan hatinya, sementara yang kedua menuju “neraka” karena
penyakit hati yang menghinggapinya.
Ibnu ‘Athaillah dalam kitab al-Hikam, untuk menunjukkan
pentingnya kebersihan hati, bahkan lebih memilih jalan kemaksiatan yang mampu
berujung pada kehinaan diri dan perasaan butuh pada Allah, daripada ketaatan
yang hanya melahirkan kesombongan dan perasaan ujub. Sifat ujub adalah jurang
luas dan dalam yang mampu memisahkan hamba
dari Allah, sedangkan perasaan hina dan butuh pada rahmat ampunan Allah adalah
magnet yang dapat mendekatkan
hamba dengan Allah. Oleh karenanya, bagi Ibnu ‘Athaillah tidak ada kemaksiatan
yang besar bila mampu mendekatkan diri kita kepada Allah, dan tidak ada ibadah
yang paling merugi bila ujungnya hanya bertemu dengan murka Allah. Kuncinya ada
pada ke mana
hati kita menuntun dan membawa perbuatan yang jasmani kita lakukan. Sekali lagi
pembedanya hanya satu, hati.
Senada dengan keterangan di atas, Imam al-Ghazali dalam
kitab Ihya’ juga memberikan paparan tentang tingkatan kesucian diri (thoharoh)
dari tingkatan yang paling rendah ke tingkatan yang lebih tinggi: Pertama, thoharatul
abdan ‘anil hawadits (kesucian badan dari hadas). Kedua, thoharatul ajsam
‘anil atsam (kesucian jisim dari perbuatan dosa). Ketiga, thoharatul
qalbi ‘anil akhlaq al-madzmumah (kesucian hati dari akhlak yang tercela).
Keempat, thoharatus sirri ‘amma siwallah (kesucian inti hati dari selain
Allah). Tampak Ghazali memberikan porsi yang besar terhadap peran hati dalam tingkatan kesucian diri. Bersih
kotornya hati menentukan tinggi rendahnya derajat
seseorang di mata Allah. Karena
sejatinya, tampilan luar memang
tidaklah menunjukkan nilai yang sebenarnya.
Mungkin sulit menjaga lisan untuk tidak mengumpat,
mencibir, atau melakukan ghibah pada orang lain. Mungkin tidak mudah
menahan menjaga lidah untuk tidak membuka aib orang, tapi sejatinya jauh lebih
sulit dan jauh lebih tidak mudah untuk menjaga hati untuk tidak berdetak melakukan
umpatan, cibiran, ghibah, atau mengingat-ingat aib orang lain. Menjaga
badan untuk melakukan ibadah atau untuk meninggalkan kemaksiatan cukup dan
selesai pada waktu-waktu tertentu. Kewajiban sholat dianggap selesai setelah
ritualnya usai dilaksanakan, namun menjaga hati untuk memastikan sholat
tersebut diperuntukkan dengan ikhlas kepada Allah melampaui batas-batas waktu
ritual sholat. Hati harus tetap dipastikan ikhlas pada saat shalat, setelah
shalat, bahkan sepanjang hati tersebut berdetak.
"(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,
kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih". (QS.
Asy Syura (26): 88-99).
Penyakit
Amal
Memang lebih mudah menghindari kemaksiatan yang secara
kasat mata tampak dan bersemayam dalam kemaksiatan. Perbuatan zina atau meminum
minuman keras sebagian besar Muslim pasti tidak terlalu sulit menghindarinya.
Tapi, bagaimana bila kemaksiatan itu bersemayam dalam bentuk ketaatan? Dampaknya
memang akan banyak ahli ibadah yang justru tidak secara sadar melakukan dosa
besar bersamaan dengan besarnya ibadah yang mereka lakukan. Alasannya
adalah karena amal-amal ibadah tersebut berpenyakit.
Penyakit-penyakit inilah yang justru menjadikan ibadahnya tidak bernilai di
depan Allah, bahkan justru mengundang murka-Nya.
Di antara penyakit-penyakit tersebut pertama
adalah penyakit ujub, bangga akan diri sendiri yang telah berhasil melakukan
ibadah. Sifat ini seringkali tanpa kita sadari terlintas dalam hati kita
setelah kita melakukan ibadah. Ada rasa puas, bahagia, dan bangga atas
kemampuan melaksanakan sejumlah ritual ibadah. Tampak sangat sepele, namun ujub
adalah sifat yang memisahkan sangat jauh jarak antara hamba dengan Tuhannya.
Sifat ini mengindikasikan tiadanya keikhlasan dan keyakinan bahwa seluruh
perbuatan bersumber dari Allah dan sudah seharusnya diperuntukkan murni
bagi-Nya.
Logikanya, bagaimana mungkin ritual ibadah tersebut bisa
kita lakukan kalau nikmat kesehatan tidak Allah berikan, kalau tidak Allah
membiarkan badan kita bergerak, dan hati kita berdetak untuk beribadah kepada-Nya?
Lalu atas dasar apa kita layak ujub, bangga akan peribadatan yang kita lakukan,
sementara kita tidak punya peran apa-apa di dalamnya?
Penyakit amal yang kedua adalah keyakinan bahwa
kita mampu selamat dan berhasil mencapai tujuan disebabkan amal ibadah yang
kita lakukan (i’timad ‘alal ‘amal). Padahal keberhasilan seseorang dalam
mencapai tujuan bukanlah berkat ibadah yang telah ia dirikan, bukan karena
doa-doa yang tak henti-hentinya ia panjatkan. Semuanya hanyalah berkat rahmat
Allah, kasih sayang-Nya kepada umat manusia. Doa kita tidak lain dan tidak
bukan hanyalah ditujukan untuk membuktikan kehambaan kita kepada-Nya. Kalau
tidak karena rahmat-Nya, maka tingginya pahala dari semua ibadah tidak akan
berarti apa-apa.
Penyakit ketiga adalah menghina orang yang tidak
melakukan ibadah sebagaimana ibadah yang kita lakukan. Seringkali kita merasa
lebih baik, lebih suci, dan lebih bersih, selepas mendirikan shalat saat
berpapasan dengan orang yang tidak shalat. Sayangnya, perasaan itu seolah
merupakan kebenaran dan kewajaran yang lumrah kita rasakan. Ini bukan tentang amar
makruf nahi munkar, tapi ini tentang memposisikan diri kita di hadapan
orang lain. Kita sedikitpun tidak diperkenankan memiliki perasaan lebih baik
daripada orang lain sehebat apapun ibadah yang kita lakukan. Demikian pula kita
tidak boleh memiliki perasaan orang lain lebih hina, lebih berdosa daripada
kita sebesar apapun dosa yang telah dilakukannya.
Suatu saat, ada seseorang yang tidak beriman pada Allah
bertamu dan hendak menginap di rumah Nabi Musa AS. Musa menolaknya karena
berasalan orang tersebut belum beriman kepada Allah, sehingga Musa merasa
orang tersebut hidup dalam dosa. Lalu Allah menurunkan wahyu seraya menegur
Musa, “Bagaimana engkau (Musa) tidak memberikan tumpangan satu malam pada orang
yang tidak beriman pada-Ku, sementara aku tetap memberikan rizqi sepanjang
hidupnya, meski ia durhaka pada-Ku”. Musa kemudian mengejar orang tadi dan
menceritakan perihal teguran dan wahyu yang Allah turunkan padanya. Orang
tersebut lalu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mati dengan membawa imannya.
Kita tidak dihalalkan menghina pelaku dosa dan
kemaksiatan, karena bisa jadi mereka mati dalam keadaan husnul khotimah (happy
ending), sementara kita justru bisa jadi mati dalam keadaan su’ul
khotimah (sad ending). Di samping itu, menghina pelaku dosa atau
orang yang tidak melakukan ibadah kebaikan berarti menghadirkan kesombongan
atas kesucian diri sendiri, padahal “tidak akan masuk surga orang yang di
dalam hatinya terdapat sebesar semut hitam dari kesombongan”. Kami
berlindung pada-Mu.
Ikhtitam
Orang
yang berpikiran sempit tentu berpikir tidak ada gunanya melakukan ibadah, bila
seolah-olah ibadah tersebut tampak sia-sia dan justru bisa menjerumuskan ke
dalam api neraka. Memang ibadah sepenuhnya menjadi preogratif Allah untuk
menerima atau menolaknya. Ibadah sejatinya hanyalah tanda-tanda bahwa kita ini
orang baik dan mencintai Allah, namun hakikatnya tetaplah Allah yang Maha
Mengetahui dan menentukan nilai dari ibadah kita. Namun, pilihannya tetap berada
pada diri kita, apakah akan menjadi orang yang setidaknya menunjukkan
tanda-tanda mencintai-Nya atau akan menjadi orang yang tidak memiliki cukup
bukti cinta pada-Nya. Wallahu a’lam bi al-showab.