Sarung adalah jenis pakaian
yang sangat identik dengan kaum santri. Pakaian ini sudah menjadi semacam
identitas resmi atau pakaian budaya bagi warga pesantren. Bukan hanya dikenakan
oleh mereka yang sedang nyantri, sarung juga menjadi pakaian kebanggaan
bagi mereka yang cinta terhadap tradisi pesantren. Terasa kurang pas
rasanya kalau ada film tentang pesantren, tapi di dalamnya tidak ada lakon orang
bersarung. Ini karena memang hak cipta “sarung” seolah menjadi milik pesantren,
karena begitu lekatnya sarung dengan kehidupan kepesantrenan. Maka, tidak perlu
heran kalau semisal ada orang yang tidak bersarung sholat di masjid pesantren,
lantas menjadi obyek pengamatan seluruh mata kaum santri. Bagi mereka, pemandangan
itu aneh. Persis serasa ada orang bule ikut berjamaah bersama mereka.
Meski sarung seringkali
dijadikan stereotipe keterbelakangan, nyatanya sarung tetap banyak dipakai oleh
Muslim di Indonesia. Oleh sebab itu, kurang tepat rasanya kalau menganggap
sarung sekedar pakaian biasa layakya penutup aurat atau trend mode pada
umumnya. Sarung –setidaknya bagi saya- adalah sebuah ideologi yang sarat akan
nilai-nilai filosofis.
Sejarah
Ada banyak versi yang mencoba menelusuri
sejarah sarung di Indonesia. Sebagian menduga sarung merupakan warisan dari
budaya hindu yang telah ada ratusan tahun silam. Sarung diyakini merupakan
pengembangan dari jenis pakaian “bawahan” yang biasa dipakai orang jawa, baik
pria atau wanita, pada zaman dahulu. Kini pakaian adat semacam ini masih bisa
kita saksikan dalam tradisi kraton jawa atau pakaian pengantin yang mengangkat
adat jawa sebagai konsep dan tema pernikahan. Bukti lain -bagi pendukung teori
ini- dapat dilihat dari kain sarung bermotif kotak-kotak hitam putih yang
menjadi pakaian adat kaum hindu di Bali. Model pakaian tersebut dipercaya
sebagai cikal bakal lahirnya sarung dengan berbagai motif dan warna di kemudian
hari. Singkatnya, teori ini meyakini bahwa sarung adalah pakaian yang lahir
dari rahim budaya nusantara.
Sebaliknya, versi lain
menunjukkan bahwa sarung yang kita kenal sekarang bukanlah berasal dari budaya
nusantara. Sarung dipercaya sebagai jenis pakaian yang lebih dulu dikenalkan
dan dipopulerkan oleh Muslim di Yaman. Di negeri itu, sarung dikenal dengan
nama futah dan merupakan pakaian tradisional masyarakat Yaman. Bahkan
penggunaannya dipercaya telah meluas sampai di beberapa negara semenanjung Arab
dan negara-negara Asia. Pakaian ini kemudian dikenal di nusantara bersamaan
dengan proses islamisasi nusantara yang banyak dilakukan para ulama dari jalur Arab
dan Gujarat. Teori ini didukung dengan bukti bahwa tradisi memakai hingga
sarung saat ini masih melekat dengan masyarakat Yaman. Sarung Yaman menjadi
buah tangan populer bagi mereka yang datang berkunjung ke negeri tersebut.
Filosofi Sarung
Dalam tradisi pesantren, di samping faktor
kesejarahan, sarung dipilih menjadi “identitas” pakaian karena dianggap
memiliki kelebihan “nilai-nilai” berikut:
Pertama, demokratis.
Salah satu ciri sederhana dari nilai demokratis adalah adanya kebebasan alias
tidak mengekang. Penerapan nilai ini dalam sarung direalisasikan dalam desainnya
yang longgar dan memungkinkan kaki untuk bergerak bebas serta nyaman dalam
segala posisi. Baik berdiri, berjalan, maupun duduk. Tidak seperti celana jeans
yang biasanya didesain ketat dan kurang nyaman untuk dibuat jongkok atau duduk
bersila, sarung menjadikan kaki untuk dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Gerakan kaki tidak dibatasi saat seseorang mengenakan sarung. Selain menutup
aurat, fungsi pakaian sepatutnya tidak membatasi gerak tubuh alami manusia. Disinilah,
sarung dianggap misalnya lebih “demokratis” ketimbang pakaian lainnya.
Kedua, dinamis. Dengan desain
jahitan dan bentuk yang sederhana, sarung pada kenyataannya memiliki
multifungsi. Selain fungsi utama sebagai pakaian bawahan, sarung juga seringkali
digunakan para santri sebagai selimut tidur. Sarung jugalah yang biasa
digunakan santri untuk membungkus pakaian kotor mereka. Di daerah pegunungan, sarung
difungsikan sebagai pakaian tambahan untuk melawan hawa dingin, sebagaimana sering
kita temui pada masyarakat dataran tinggi Tengger. Kalau masa kecil kita hidup
pada era 90-an atau sebelumnya, tentu kita juga tidak asing dengan permainan
“ninja” ala sarung. Bukan hanya itu, dalam kondisi tertentu, sarung bahkan juga
bisa dimanfaatkan ibu-ibu untuk menjadi kain penggendong bayi. Lucunya, di
tangan perampok dan pencuri, sarung juga dapat digunakan sebagai penutup kepala
dan pembungkus barang hasil kejahatan. Singkatnya, fungsi dan pemanfaatan
sarung sangat dinamis, menyesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi pemakainya.
Ketiga, elastis. Pada umumnya,
sarung tidak memiliki ukuran tertentu, seperti S, M, L, atau XL. Ukuran sarung
hanya dibedakan menjadi dua: Dewasa dan anak-anak. Ukuran sarung orang dewasa
biasanya akan muat dipakai untuk semua ukuran lingkar pinggang dan panjang kaki.
Tentu saja ada pengecualian bagi mereka yang memiliki ukuran tubuh “sangat
tidak biasa”. Sangat gemuk sekali atau sangat tinggi sekali. Tapi, secara umum
dapat disimpulkan bahwa sarung sangat elastis, artinya dapat dipakai oleh semua
ukuran (all size). Sebab itu, sangat jarang kita jumpai ada pembeli
sarung yang masuk kamar ganti untuk mencoba sarung yang akan dibeli. Demikan
juga, belum pernah kita dengar, jika ada orang yang hendak sholat dan meminjam
sarung, lantas ia ditanya: ukurannya berapa?
Keempat, higienis. Dalam
konteks ini, higienis berarti bersih dan sehat. Untuk urusan kebersihan, sarung
sangat mudah untuk “dikendalikan” saat melalui jalanan kotor atau berair. Mudah
dilepas dan mudah juga dikenakan kembali. Bagian ini menjadi krusial bila
dikaitkan dengan pentingnya kesucian pakaian bagi seorang Muslim. Sedangkan
sisi sehat sarung dapat dilihat pada hasil penelitian kesehatan yang menyatakan
bahwa celana ketat dapat berakibat buruk bagi organ reproduksi. Mungkin inilah
alasan medis di balik fakta bahwa mayoritas kaum santri diberi kemudahan dalam
memperoleh keturunan. Artinya, sifat demokratis dan elastis sarung memungkinkan pakaian ini untuk menjadi
pakaian yang sehat.
Ideologi
Sarung
Ada yang mengatakan bahwa asal muasal kata
“sarung” diambilkan dari bahasa arab “syar’an” yang berarti sesuai
syariat atau aturan. Konon, lidah orang indonesia yang sulit menyebut “syar’an”
merubahnya menjadi “sarungan”. Pakaiannya lantas disebut sarung.
Terlepas dari tidak adanya dukungan ilmiah terhadap klaim ini dan hanya
terkesan gathuk matuk, tidak ada yang menyangkal lekatnya sarung dengan
identitas keislaman. Buktinya, bila ada orang yang bersarung, kemungkinan besar
ia akan diduga beragama Islam.
Selain
beberapa nilai yang sudah dideskripiskan sebelumnya, sarung dijadikan pilihan
oleh para ulama nusantara mungkin karena pakaian ini dianggap mampu menjawab
tuntutan dan tuntunan syariat Islam. Selain mudah dalam menjaga kesucian saat
berada di rumah atau perjalanan, sarung juga menawarkan kemudahan melakukan
ketentuan dan etika syara’ saat berada di kamar kecil. Pemakai sarung
akan lebih mudah melakukan kegiatan buang air kecil atau besar dalam posisi
jongkok sebagaimana disunnatkan dalam syariat Islam. Kemudahan semacam ini
tentu tidak akan didapatkan mereka yang memilih celana sebagai pakaian mereka. Manfaat
yang lebih besar akan semakin terasa saat aktivitas kamar kecil tersebut
‘terpaksa’ harus dilakukan di tempat yang ‘tidak biasa’, seperti di parit,
sungai atau hutan. Sarung akan lebih mudah dikenakan dan dijaga kesuciannya.
Di
samping itu, sejarah bangsa mencatat penggunaan sarung sebagai identitas
perlawanan terhadap kaum penjajah. Saat kaum penjajah mengenakan celana sebagai
pakaian keseharian mereka, para kyai menciptakan ‘revolusi mental’ anti
penjajah melalui gerakan pemakaian sarung. Sebagian bahkan sampai pada ijtihad
pengharaman celana dan dasi, karena dianggap menyerupai budaya penjajah. Tentu
yang semacam ini terasa kurang tepat untuk diterapkan saat ini. Namun, spirit
anti inferior terhadap kemajuan asing tampaknya masih relevan untuk terus
dijadikan pembelajaran.
Sarung
dalam konteks ini menjadi semacam perlawanan kultural dan politis terhadap
hegemoni asing dalam dua bidang tersebut. Bahkan, sarung –dalam batas-batas
tertentu- bisa juga menjadi simbol pertarungan ideologis antara keimanan dan
kekafiran, antara kebaikan dan keburukan, antara kaum santri dan modernitas.
Itu pula yang mungkin ingin disampaikan Presiden Joko Widodo saat memilih
sarung sebagai pakaian resmi sewaktu menghadiri sebuah acara keagamaan. Berita
itu sempat menjadi heboh, karena belum pernah sebelumnya ada seorang presiden
yang turun dari pesawat kenegaraan dengan mengenakan pakaian sarung. Tentu,
ragam analisa muncul dari pilihan pakaian yang dikenakan presiden. Ada yang meyakininya
sekedar pesan kultural, ada yang menyoroti sisi politisnya, namun ada juga yang
meyakininya menyiratkan pesan ideologis.
Apapun
itu, sarung dalam sejarahnya telah menjelma menjadi lebih dari sekedar
identitas budaya. Akhir-akhir ini bahkan sedang menjadi trend kalangan
santri melaksanakan upacara hari nasional dengan seragam sarung. Semua
perangkat pelaksana upacara, mulai dari pembina, komandan, sampai pasukan
pengibar bendera merah putih kompak bersarung. Jika di banyak ruang kuliah dan
diskusi kaum intelektual masih sibuk diperdebatkan hubungan antara Islam dan
kebangsaan, tampaknya itu sudah selesai bagi kaum santri. Sebab, di dalam
sarung mereka menemukan identitas ke-Islaman sekaligus jati diri kebangsaan.
Masihkan malu bersarung?