Hakikat Manusia
Tak dapat disangkal bahwa
sebagai bagian dari makhluk hidup, manusia memiliki beberapa karakter atau
insting yang serupa dengan hewan pada umumnya. Sebagian menyebut perangkat “akal”
adalah pembeda utama antara manusia dan makhluk hidup yang lain. Sisanya dapat
dicari kesamaan dan keserupaannya. “Akal” yang dimaksud di sini tentu bukan
sinonim dari apa yang kita kenal saat ini dengan dengan otak. Perangkat akal
adalah perpaduan dari unsur jasmani dan unsur rohani yang tidak dapat hanya
dijelaskan dengan pendekatan scientific. Quraisy Shihab memaknai akal sebagai
daya pikir yang bila digunakan akan mengantar seseorang untuk mengerti dan
memahami persoalan yang dihadapinya
Meski seluruh manusia dikaruniai
perangkat akal, tapi tidak semua menggunakannya sebagaimana mestinya. Banyak
yang sekedar mengikuti insting hewaninya. Belum naik kelas menjadi manusia. Ia
–meminjam istilah cak Nun- adalah bentuk makhluk sebelum manusia (Pre-man).
Maka, meski fisiknya berbentuk manusia, tapi tindak tanduknya masih belum dapat
didefinisikan manusia. Dalam bahasa al-Quran, “mereka seperti hewan atau bahkan
lebih sesat”.
Oleh karenanya, di antara
fungsi agama adalah memastikan manusia untuk menggunakan akalnya secara
tepat. Atau lebih sederhananya untuk
menjadikan manusia benar-benar manusia, bukan hewan bertubuh manusia. Ajaran
dan aturan dalam agama diciptakan minimal untuk menjadikan manusia tetap
manusia atau syukur-syukur naik kelas ke level yang lebih tinggi. Di dalam
Islam, martabat manusia bisa naik dan turun kelas. Manusia bisa lebih mulia
dari Malaikat, namun juga bisa lebih rendah dari hewan. Hidup manusia –jika
demikian- semacam ujian dan seleksi untuk menentukan di kelas mana mereka
sebenarnya berada.
Ada ungkapan, “Agama adalah
akal. Tidak ada agama bagi yang tidak berakal.” Di antara maksudnya adalah penekanan
bahwa ajaran agama tidak mungkin bertentangan dengan akal. Segala yang
diperintahkan dan dianjurkan agama pasti baik bagi manusia. Demikian juga
sebaliknya, apa yang dilarang pasti tidak baik bagi manusia. Ini bukan berarti
agama membatasi kemampuan akal. Agama hanya memastikan bahwa akal harus
digunakan sebagaimana mestinya. Bukankah Islam secara bahasa bermakna pasrah
atau tunduk? Maka, jika manusia masih diyakini sebagai kreasi Tuhan, sudah semestinya
manusia tidak memiliki kebebasan tak terbatas. Perilakunya dibatasi oleh
aturan-aturan Penciptanya yang dapat dipelajari melalui ketentuan agama.
Benar atau Enak?
Di antara kesamaan insting manusia
dan binatang adalah sama-sama memiliki kecenderungan kepada yang enak dan
menghindari yang tidak enak. Padahal yang enak belum tentu benar dan yang tidak
enak belum tentu salah. Dari ajaran agama kita tahu mana yang benar dan mana
yang salah. Akal manusia dituntun untuk tidak hanya menyukai, mencari dan
mengejar apapun yang enak, melainkan juga harus mempertimbangkan apakah hal
tersebut benar atau salah. Ini untuk memastikan bahwa manusia berbeda dengan
binatang, karena kalau sekedar menganalisa dan memilih mana yang enak dan mana
yang tidak, binatang pun mampu.
Bagi mereka yang dalam
hidupnya hanya berorientasi pada pertimbangan enak saja, maka sebetulnya mereka
masih belum manusia atau manusia yang turun kelas. Agama mengajarkan kepada
kita bahwa baik-buruk dan benar-salah juga harus dijadikan pertimbangan utama
disamping enak-tidak enak. Ini juga jangan disalahartikan bahwa yang baik atau
benar menurut agama pasti tidak enak, sedang yang yang buruk dan salah dalam
pandangan agama pasti enak. Agama tidak sekejam itu. Titik tekannya adalah pada
prioritas pertimbangan yang harus dikendalikan. Boleh mencari yang enak asal
itu benar dan baik. Hindarilah yang tidak enak kalau memang itu buruk dan
salah. Sekali lagi, semua ini ditujukan agar manusia masih layak menyebut
dirinya sebagai manusia.
Insting hewani manusia secara naluriah akan memilih yang
enak-enak dan menghindari yang tidak enak. Urusan benar-salah dan baik-buruk
bukan domain karakter “hewani”. Kalau kambing doyan rumput itu bukan
karena binatang tersebut meyakini rumput baik bagi pertumbuhan tubuhnya.
Pertimbangan benar-salah dan baik-buruk hanya dimiliki oleh mereka yang
dikaruniai akal. Itupun masih belum cukup untuk menemukan hakikat kebenaran dan
kebaikan. Manusia tidak jarang justru bingung membedakan antara yang baik dan
enak. Sebagian sering berpikir sederhana dengan menganggap yang enak sebagai
yang baik. Mereka meyakini perbuatannya telah didasarkan atas pertimbangan
rasionalitas sehat, padahal sejatinya itu insting hewaninya belaka. Atas dasar
itulah, agama diturunkan untuk memberikan panduan bagi manusia dalam membedakan
antara yang baik-buruk dan benar salah.
Maka agama menjadi bagian
yang krusial dalam pembentukan hakikat manusia disamping akal, karena banyak
hal yang tidak dapat ditemukan jawabannya melalui akal, terutama menyangkut
urusan nilai. Walau sebagian
orang selama ini berpendapat bahwa kemaslahatan yang menjadi tujuan
datangnya agama dapat dijangkau oleh akal seluruhnya, Izzud
Din dalam Qowaid al-Ahkam, misalnya, menolak angapan ini. Ia tidak berkata
“seluruhnya”, tetapi yang ia katakan adalah “sebagian besar dari kemaslahatan
dan keburukan dapat diketahui melalui akal, demikian juga sebagian ketetapan
syara’”.
Akal pikiran serta logika kita hanya
dapat menjangkau hal-hal yang terbatas, seperti yang bersifat lahir dan nyata bagi pandangan
kita. Banyak hal yang bila tidak dijelaskan oleh agama, maka akal
kita amat sulit, kalau enggan berkata mustahil dapat menjangkaunya.
Pesantren: Pendidikan Anti Orgasme
Konon, orgasme dianggap
sebagai representasi puncak kenikmatan dunia. Dalam bahasa sederhana, enaknya
orgasme adalah paling enak diantara yang enak. Maka yang dimaksud pendidikan
anti orgasme adalah pendidikan yang orientasinya bukan mengajarkan dan
meneladankan yang enak-enak saja. Terhadap mereka yang orientasi hidupnya hanya
pada yang enak-enak saja, maka sebut saja mereka mengamalkan “ideologi
orgasme”.
Di tengah promosi yang
enak-enak dan tumbuh suburnya generasi hedonis, mayoritas pesantren justru
konsisten menjadi lembaga pendidikan yang menawarkarkan suasana “tidak enak”. Para
santri hidup selama 24 jam dengan setumpuk aturan ketat yang pasti tidak enak.
Bukan hanya berat melaksakannya, tapi santri juga harus siap berhadapan dengan
beragam hukuman bila dinilai lalai. Mulai dari hukuman ringan, seperti berdiri,
sampai hukuman berat yang mungkin bagi banyak kalangan pendidik modern dapat
dianggap tidak manusiawi. Belum lagi, gaya hidup pesantren yang sangat
sederhana. Makan terbatas, pakaian terbatas, alat komunikasi terbatas, sarana
permainan terbatas, dan kenikmatan-kenikmatan lain yang terbatas. Sudah barang
tentu akan banyak ke-tidak enak-an di dalam model pendidikan semacam ini.
Pernyataan semacam ini bukan
apologi atas minimnya fasilitas pesantren. Bukan juga justifikasi untuk menutup
diri dari kemajuan dan perkembangan zaman. Bagi kami, kaum santri, ruh
pendidikan melalui teladan keikhlasan dan nilai istiqomah para guru jauh
lebih penting dibandingkan dengan mewahnya sarana prasarana sebagai media
belajar. Kesederhanaan bukan dilihat dari reyotnya bangunan madrasah atau lusuhnya
asrama santri. Kesederhanaan itu tercermin dari sikap dan pola pikir dalam
menyikapi dunia. Batasan-batasan yang ditetapkan dalam aturan pesantren
diantaranya adalah bertujuan membentuk pribadi-pribadi yang orientasi hidupnya
pada kebaikan, bukan hanya pada kenikmatan. “Bersyukurlah jika dirimu hidup di
tengah komunitas yang menegurmu dan menghukummu saat dirimu tidak berbuat baik
atau melakukan perbuatan yang salah,” kata seorang bijak.
Konsistensi pesantren ini
tentu melawan arus. Tapi demikianlah karakter pendidikan pesantren. Lembaga ini
–tidak seperti lembaga pendidikan mainstream lainnya- berusaha menyiapkan
peserta didik untuk tidak hanya siap hidup, melainkan juga harus siap mati, tidak
hanya mengejar duniawi dan enak-enak, tapi yang lebih penting mengutamakan yang
benar dan baik serta bernilai ukhrawi. Target output-nya tentu saja adalah
manusia yang sempurna atau bahkan purna manusia.
Betapa banyak lembaga
pendidikan yang bangga karena tingkat kelulusannya mencapai 100 persen, padahal
mereka juga sadar prestasi tersebut diantaranya berasal dari ketidakjujuran.
Daripada dikenal sebagai lembaga yang tidak berhasil meluluskan siswa-siswinya,
pilihan untuk memanipulasi nilai dianggap baik. Padahal itu bukan BAIK. Itu
ENAK. Sayangnya, model lulus-lulusan semacam ini akhir-akhir ini telah banyak
diadopsi atau menjadi bagian dari pendidikan pesantren. Pendidikan formal yang
berdiri di dalam lingkungan pesantren sedikit banyak telah mengubah paradigma
pengelola pesantren. Semoga ini hanya faktor penyesuaian semata.
Pesantren semestinya tetap
menjadi lembaga ideal yang anti orgasme, anti kapitalisme, dan anti keburukan
lainnya. Saat lembaga pendidikan lain berlomba-lomba menjadi “Balai Latihan
Kerja” untuk memenuhi supply kebutuhan industri, pesantren tidak
ikut-ikutan trend demikian. Sependek pengetahuan saya, belum ada seorang
santri yang motivasinya masuk pesantren agar mudah mendapat kerja. Hal ini
menjadi relevan dan penting di masa kini agar ilmu tidak kalah nilainya
dibanding ijazah dan gaji dinilai lebih penting daripada keikhlasan. Menuntut
ilmu itu hakikatnya adalah pekerjaan ukhrawi, maka jangan dikotori
dengan urusan seputar perut. Yang berilmu belum tentu kaya, karena kemuliaan
memang tidak diukur dari kekayaan. Sebaliknya, yang tidak berilmu belum tentu
ditakdirkan miskin, karena Tuhan memberi rizki pada orang-orang yang Ia sukai
dan pada mereka yang Ia benci. Tuhan menjanjikan kemuliaan bagi mereka yang
beriman dan berilmu. Jadi, tingkatkan iman dan ilmumu! Maka kebaikan pasti
mendatangimu.