Iftitah
Kami,
kaum santri, adalah sekelompok orang yang opininya dianggap tidak terlalu
berdampak signifikan saat berbicara tentang politik atau Pemilu. Ilmu tentang
demokrasi, sistem kenegaraan, dan wacana reformasi katanya wilayah kajian kaum
berdasi, bukan kami, gerombolan bersarung. Padahal kami adalah orang yang lebih
banyak mengerti tentang doktrin-doktrin dasar agama dibanding yang lain. Mereka
mungkin lupa bahwa semakin opini kami diabaikan dalam sebuah persoalan, artinya
akan semakin jauh persoalan itu dari ajaran agama. Atas dasar itu, dengan penuh
kerendahan hati, terpaksa kami membuka suara untuk minimal mengurangi semakin lebarnya jurang pemisah
antara agama dan politik di Negara ini. Harapannya
sederhana, agar air dari langit tidak lagi berubah jadi bencana, hembusan angin tidak justru sekencang topan, dan api dari
perut bumi tidak menjadi sumber derita. “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,
tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96).
Fiqh Pemilu
Sebagai
sebuah cabang ilmu pengetahuan, fiqh menempati posisi yang sangat
spesial bagi kaum santri. Bukan hanya karena cakupan kajiannya yang luwes, tapi
karena ilmu ini juga dianggap mampu menyentuh aspek empiris kehidupan
masyarakat. Dengan ilmu ini, seseorang bisa mengetahui posisi hukum dari sebuah
perbuatan atau aktivitas apapun. Salah satu doktrin yang memiliki peran sentral
dalam fiqh adalah yang dikenal dengan istilah pancahukum (al-ahkam
al-khomsah); wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Kalau semisal ada
perdebatan tentang fiqh, kemungkinan topiknya tidak akan jauh-jauh dari
pencarian justifikasi terhadap kelima hukum tersebut.
Tanpa mengesampingkan definisi baku dari masing-masing hukum yang
dapat dengan mudah kita jumpai dalam berbagai literatur fiqh, kali ini
saya ingin mengajak para pembaca untuk mengaplikasikan doktrin hukum di atas
dari perspektif yang berbeda. Secara sederhana, kalau kita gunakan patokan
maslahat dan mudlarat, kita dapat mendefinisikan pancahukum sebagai berikut:
a. Wajib adalah sesuatu yang keberadaannya
pasti mendatangkan maslahat dan mengabaikannya pasti mendatangkan mudlarat;
b. Sunnah adalah sesuatu yang meski
diabaikan tidak akan mengundang mudlarat, namun bila dilaksanakan akan membawa
kemaslahatan;
c. Mubah adalah sesuatu yang berada pada
titik bebas dari maslahat dan mudlarat, baik dikerjakan atau ditinggalkan;
d. Makruh adalah kebalikan dari Sunnah. Jika
dilaksanakan tidak akan sampai mengundang mudlarat, namun jika ditinggalkan
akan membawa kemaslahatan.
e. Haram adalah kebalikan dari wajib. Ia
justru pasti mendatangkan maslahat bila ditinggalkan dan pasti membawa mudlarat
bila dikerjakan.
Bila kita sepakat dengan definisi di atas, maka tinggal kita
aplikasikan terhadap peristiwa atau perbuatan hukum yang akan kita cari posisi
hukumnya. Pola dasarnya kira-kira begini: semakin ia dipandang banyak
mendatangkan kemaslahatan maka ia menjadi semakin wajib, dan sebaliknya,
semakin ia terbukti membawa sederet mudlarat maka semakin dekatlah ia dengan
hukum haram.
Sekarang cobalah anda aplikasikan formula tersebut untuk menentukan
hukum Pemilu. Kira-kira pelaksanaan Pemilu lebih banyak manfaat atau
mudlaratnya bagi masyarakat dan bangsa Indonesia? Ia berada pada level wajib,
mubah atau justru haram? Seberapa besar Pemilu memberikan maslahat pada kita?
Sudah sepadankah dana untuk pelaksanaan Pemilu yang mecapai angka triliunan dan
notabene adalah uang rakyat dengan capaian yang dihasilkan? Kalau mau lebih
ekstrim lagi, coba analisa juga bagaimana hukumnya Pemerintah, Presiden, atau
bahkan Negara? Bukan hak saya untuk menyimpulkan, karena masing-masing boleh
jadi memiliki jawaban yang beraneka ragam, tergantung pada ilmu pengalaman yang
membentuk nalar logika tiap individu.
Kalau ini dianggap terlalu menyederhanakan persoalan, ya memang
begitulah ajaran politik dan demokrasi di Indonesia. Semua orang, tanpa perlu
dilihat status keilmuwannya, memiliki kedudukan yang sama. Masing-masing halal
memberikan komentar politik dan bahkan mengeluarkan “fatwa” politik.
Tidak perlu heran kalau Pemilu seringkali gagal melahirkan pemimpin
berkualitas, karena standarisasinya memang bukan kualitas, tapi kuantitas. Suara kyai ‘alim bernilai
sama dengan pemabuk di pinggir
jalan. Suara guru besar juga setara dengan yang masih buta huruf. Siapapun
dirimu, jahat atau sholeh, bejat atau bermoral, asalkan banyak suara yang
mendukungmu, engkau bisa menjadi pemimpin. Sederhana bukan?
Politik
Tawakkal
Sejatinya,
kita tidak pernah memiliki cukup pengetahuan terhadap jati diri seseorang yang
akan kita pilih. Tidak pada pemilihan anggota parlemen, tidak pula pada level
pimpinan daerah maupun nasional. Amat kecil kemungkinan para pemilih untuk mau
dengan serius meneliti latar belakang dan track record para politisi. Bukan
hanya tentang banyaknya para calon, tetapi juga media dan alatnya yang tidak
tersedia. Ibaratnya, saat ini kita berada di sebuah warung yang bernama Pemilu,
dan kita dipaksa memilih salah satu menu makanan yang tersedia tanpa kita tahu
komposisi, rasa, dan bentuk makanan tersebut. Bahkan, kita juga tidak dibekali
pengetahuan apakah makanan yang akan kita pilih halal dan menyehatkan atau
justru haram dan racun bagi tubuh kita.
Selain itu, kondisi di atas semakin diperparah dengan kenyataan
bahwa kita juga tidak benar-benar memiliki kuasa kontrol atas kekuasaan yang nantinya
akan dijalankan. Lembaga-lembaga negara dan NGO yang idealnya berperan sebagai unsur
penyeimbang banyak yang turut jatuh pada pusaran kepentingan sesaat. Lihat saja
bagaimana media massa justru kini acap kali menjadi alat propaganda
mempromosikan dan melanggengkan kepentingan pemilik kapital. Urusan moral
diketepikan, sementara sisi komersial dikedepankan.
Pertanyaannya, jika demikian, lantas kepada apa atau siapa
sebaiknya kita percayakan urusan “politik” kita?
Sebagai ilustrasi, jika kita memiliki seorang anak yang harus
menyebrangi lautan berombak besar dengan sebuah kapal, sementara tidak ada satu
orang pun yang kita kenal di atas kapal tersebut, kepada siapa kita berharap
dan menitipkan keselamatan anak kita? Mayoritas santri jawabnya tentu saja
kepada Allah Swt. Sang Maha Pengasih yang tetap melimpahkan curahan kasih
sayang-Nya walau sering menjadi tempat pelarian dan alternatif terakhir para
umat manusia. Inilah yang saya sebut “politik tawakkal”.
Sayangnya, Allah seringkali memang tidak diundang dalam berbagai
proses kenegaraan. Ia seolah dirumahkan atau dibatasi ruang kekuasaannya dengan
sekat tembok-tembok masjid. Kalaupun sila pertama kita dengan tegas
mencantumkan redaksi “ketuhanan”, namun –meminjam keterangan cak Nun- ada beda
yang cukup signifikasin antara ketuhanan dan
Tuhan. Sama persis seperti istilah manusia dan kemanusiaan.
Lebih parah lagi, dalam dunia politik bukan sebuah dosa kalau Tuhan
pun melalui firman-firman-Nya tidak jarang dijadikan komoditi politik. Justifikasi
religius dianggap magnet ampuh untuk menarik minat para pemilih. Kutipan ayat
menjadi seharga kursi parlemen. Dalil dakwah menjadi kendaraan kekuasaan untuk
hidup mewah. Tentu bukan semacam ini yang saya maksudkan dengan mengundang
Tuhan.
Seharusnya, sebagai Muslim yang baik usahakanlah setidaknya
melakukan sholat sunnah malam, baik istikhoroh, hajat ataupaun tahajjud di
malam sebelum pemilihan. Mohonlah agar ikhtiar politikmu pada keesokan harinya
berbarengan dengan ridlo Allah. Terserah apakah ikhtiar politikmu untuk memilih
atau justru untuk tidak memilih. Kalau engkau memutuskan untuk memilih, jangan
lupa untuk membaca syahadat, ta’awwudz dan basmalah saat
berada di bilik pemilihan. Selepas menjatuhkan pilihan berdoa’lah:
“Ya Allah, jika
orang yang kupilih ini adil maka berikanlah ia kesehatan dan masa yang lama
bila berkuasa. Sebaliknya, jika orang ini banyak berbuat dholim saat telah
berkuasa, maka cepat-cepatlah kau cabut kekuasaan dari genggamannya.”
قل اللهم
مالكَ الملك تؤتى الملك من تشاء وتنزع الملك ممن تشاء وتعز من تشاء وتذل من تشاء
بيدك الخير انك على كل شيئ قدير
(1x)
ومَكرُوْا
ومكرَ اللهُ واللهُ خيرُ الماكرين (3x)
Tasawwuf Politik
Rasanya
tidak berlebihan kalau ada pengamat yang menyamakan politisi yang bertarung di Pemilu
sebagai kumpulan para pengemis dan fakir miskin. Mereka mengemis dukungan suara
saat berkampanye, tapi bertindak layaknya fakir miskin dengan mencari uang di
sana sini saat telah terpilih.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada satu ajaran penting dalam tasawwuf
yang semestinya menjadi pedoman bagi mereka yang memilih dunia politik, yaitu zuhud atau menghindari hubbub al-dunya (cinta
dunia). Disebutkan dalam sebuah hadits, “cinta dunia adalah pangkal dari
segala kesalahan”. Saya berani bertaruh bahwa sebagian besar penghuni
penjara memiliki keterkaitan dengan hadits di atas. Jika korupsi dianggap
sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), maka tidak perlu
repot mencari penyebabnya. Hampir pasti ada unsur cinta dunia sebagai ujung
pangkalnya.
Tasawwuf mengajarkan kita untuk menjadikan akhirat sebagai
orientasi utama. Kecintaan terhadap dunia berarti cinta terhadap yang temporal.
Padahal manusia diciptakan untuk kenikmatan yang lebih abadi. Sebagaimana
dunia, kekuasaan dalam tasawwuf dianggap sebagai sebuah musibah yang sangat
riskan untuk diperebutkan. Dibandingkan dengan yang berhasil, lebih banyak yang
gagal dalam mengelola keduanya. Sebab itu, jangan disalahkan kalau dalam
literatur tasawwuf, kita temukan banyak anjuran dari orang bijak (sufi)
untuk menjauhi dunia dan kekuasaan.
Saya bukan mengharamkan harta dunia atau melarang seseorang untuk
menjadi politisi. Hidup zuhud
tidak berarti harus tinggal di
tengah hutan atau tidur beralaskan koran. Kesederhanaan bisa dimiliki oleh
siapa saja, termasuk oleh mereka yang memiliki emas sebesar gunung atau jabatan
setinggi langit.
Ikhtitam
Akan
butuh waktu yang teramat panjang menuju demokrasi sejati jika para politisi pengemis
dan fakir miskin itu masih mendominasi arena politik. Hemat saya, agak susah
untuk mengharapkan perubahan melalui sistem yang sedang berjalan, karena baik
sistem maupun operatornya berada pada “lingkaran setan” yang sama. Saran saya,
sembari kita melakukan revolusi-revolusi kecil di sekitar kita ke arah yang
lebih baik, bermunajatlah kepada Allah agar rangkaian Pemilu ini melahirkan
figur yang jujur dan amanah. Sisanya pasrahkanlah kepada tangan Allah untuk
memutus takdir-Nya. Wallahu a’lam.