Dalam kitab Irsyad al-‘Ibad,
diceritakan alkisah ada seorang lelaki bernama Muhammad yang jarang
menunaikan ibadah sholat wajib. Ia seringkali lalai dan meninggalkan sholat
lima waktu. Hanya sesekali saja ia mendirikannya. Namun, perangai lelaki yang
satu ini berubah total ketika datang bulan Ramadlan. Yang semula degil dan
jarang ke masjid, begitu masuk bulan suci ia selalu berpakaian rapi, wangi,
rajin berpuasa, sholat, dan bahkan berusaha semaksimal mungkin mengganti (qadla’)
sholat yang pernah ia tinggalkan. Ketika ditanya tentang perubahan itu, ia
menjawab: “Bulan Ramadlan adalah bulan taubat, rahmat, dan barokah. Aku hanya
berharap mudah-mudahan Allah mengampuni seluruh kesalahanku karena keutamaan
yang terdapat dalam bulan ini”. Ketika kemudian ia meninggal, seorang ulama
bermimpi seraya bertanya padanya, “Apa yang Allah perbuat padamu?”. Ia
menjawab, “Allah mengampuni seluruh dosaku karena aku telah menghormati bulan
Ramadlan”.
Kisah semacam
ini dapat kita temukan pada banyak kitab yang menjelaskan keutamaan bulan
Ramadlan. Maka tidak salah bila Ramadlan kemudian tidak hanya layak diberi
label bulan “suci”, namun juga bulan yang men”suci”kan. Hanya saja, pemahaman
semacam ini tentu harus diberi keterangan lebih lanjut alias tidak dimakan
mentah-mentah. Jangan sampai justru tafsir yang dihasilkan berakibat pada
perilaku yang kontraproduktif. Tafsir yang saya maksudkan adalah tafsir yang
memaknai keutamaan bulan Ramadlan hanya dengan pendekatan temporal dan
pragmatis. Cerita hikmah semacam di atas memiliki titik tekan pada isyarat betapa
agungnya bulan Ramadlan, bukan pada ajakan untuk hanya menjadi kolektor pahala
pada satu bulan itu saja.
Memaknai Ulang Keutamaan Ramadlan
Waktu 24 jam dalam sehari dan 365
hari dalam setahun yang Allah berikan kepada kita untuk dapat beribadah kepada-Nya
-selain Ramadlan misalnya- sungguh sangat tidak berguna bila kemudian hanya
dianggap sebagai waktu yang basa-basi. Maha suci Allah atas semua itu (3:191).
Berbuat baik tidak perlu pilih-pilih waktu. Mengagungkan dan memuliakan Allah
tidak harus pada waktu tertentu. Begitu juga mengoleksi pahala tidak perlu
harus menunggu Ramadlan tiba. Ragam keutamaan yang Allah tawarkan di bulan
Ramadlan harus dipahami sebagai sebuah stimulus (perangsang). Rangsangan yang
Allah berikan kepada umat Muhammad untuk mau merubah kebiasaan diri menjadi
lebih baik pada bulan Ramadlan untuk kemudian melanjutkannya dengan istiqomah
pada sebelas bulan berikutnya.
Ramadlan
semestinya tidak hanya dipahami sebagai saat yang tepat (aji mumpung)
untuk mengoleksi pahala. Keberhasilan Ramadlan itu justru ditentukan dari
seberapa besar dampak (atsar) yang dibawanya pada bulan-bulan
setelahnya. Gara-gara pola pikir aji mumpung, maka tidak salah jika
saudara-saudara Muslim kita yang berprofesi artis misalnya, hanya merasa harus
“insaf” selama 30 hari saja. Menutup aurat dan berjilbab di depan umum hanya
sebulan dalam setahun, atau berhenti “bergoyang” dan bermaksiat hanya untuk
menghormati Ramadlan saja. Tayangan-tayangan televisi juga merasa perlu
berputar haluan 180 derajat. Dari sinetron yang menggambarkan pemuda-pemudi
yang berpacaran beralih pada gambaran tentang kaum muda yang rajin tarawih.
Jilbab tidak
lagi memiliki nilai religiusitas di dalamnya. Ia dipakai hanya untuk memenuhi
hasrat kapitalisme dalam bentuk sinetron religi yang digemari pemirsa pada
bulan Ramadlan. Dasar dan nilai-nilai ketaatan hampir nihil. Sama persis
seperti penjaga minimarket yang harus selalu tersenyum pada semua pelanggan
yang datang. Senyum itu belum tentu ikhlas demi menyambut tamu. Ia tersenyum
karena memang demikianlah kapitalisme pasar menuntutnya. Profesi menuntutnya
untuk berjilbab dan untuk tersenyum. Pada yang demikian ini layak rasanya untuk
kita sematkan kata “jilbab kapitalisme” atau “senyum kapitalisme”.
Hampir semua
tempat perbelanjaan, mall, cafe, kantor pemerintahan, dan bank juga
beraksesoris “Ramadlan”. Tapi sekali lagi jangan terlalu naif. Kalau ada mall
yang memasang simbol-simbol “Islam”, belum tentu niatannya untuk menghormati
Ramadlan. Mereka hanyalah kaum kapitalis yang orientasinya tetaplah
“berdagang”, mencari keuntungan. Ramadlan bagi kaum kapitalis tak ubah layaknya
hari valentine, hari kemerdekaan, hari natal, ataupun tahun baru. Ia hanyalah
siklus tahunan sebagai momentum untuk meningkatkan laba dan tingkat penjualan.
Demikian juga, kalau ada kantor pemerintahan yang ruangannya bernuansa Islam,
jangan lantas mengira bahwa pejabat di dalamnya bertaubat dari korupsi.
Ramadlan pada umumnya justru kerap kali menjadi bulan terkorup, karena kebutuhan
menjelang lebaran yang semakin mendesak dan meninggi.
Setali tiga
uang dengan itu, aparat keamanan juga rutin menutup tempat maksiat dan merazia
minuman keras menjelang dan saat bulan Ramadlan saja. Alasannya sama, untuk
menghormati bulan suci. Seolah mereka ingin berkata, “di bulan Ramadlan yang
suci ini sebaiknya jangan sekali-kalian kalian bermaksiat. Kalau mau, silahkan
pada bulan yang lain saja”. Alhamdulillah, tempat dugem tidak seramai biasanya,
meski belum tentu juga pengunjungnya bertaubat dan beralih ke masjid.
Hasilnya, lihat
saja selepas Ramadlan pergi. Jilbab itu tak lagi tampak, aurat kembali diumbar,
kemaksiatan berlanjut, dan masjid pun kembali sepi. Ajaran Islam bukanlah
lelucon dan komoditi dagang. “…dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku
dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa”
(2: 41). Ajaran Allah dan Sunnah-sunnah Rasulullah tidak hanya
harus hidup pada bulan Ramadlan saja. Ia harus tercermin dalam setiap perbuatan
yang kita lakukan dan detik yang kita lalui. Kita doakan saja mudah-mudahan
para artis itu terus berubah menjadi baik dan Ramadlan tidak hanya menjadi
gincu pemanis kaum kapitalis agar dagangannya menjadi laris.
Belajar Untuk Istiqomah
Berbuat baik memang tidak mudah,
tetapi kemampuan untuk istiqomah dalam berbuat baik jauh lebih tidak
mudah. Sebagai salah satu bagian dari akhlak yang terpuji (mahmudah), istiqomah
memang cukup sulit untuk direalisasikan. Sampai Allah tidak tanggung-tanggung
memberikan penghargaan kepada mereka yang istiqomah melalui firman-Nya, “Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka (istiqomah), maka malaikat akan turun kepada mereka
dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan
gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”
(41: 30).
Dalam konteks Ramadlan, hal ini tampaknya yang perlu ditekankan.
Sudah tidak seharusnya kita menempatkan Ramadlan sebagai media “taubat”
sementara, atau sebut saja “taubat musiman”. Muslim yang benar-benar muslim
adalah mereka yang menjaga kepasrahan dirinya pada Allah dalam sepanjang
hidupnya. Mukmin sejati adalah mukmin yang mampu menjaga eksistensi keimanannya
dalam setiap detak jantungnya. Begitu juga orang baik yang benar-benar baik
adalah mereka yang konsisten melakukan kebaikan dalam sepanjang karirnya di
dunia.
Kualitas Ramadlan harus diukur dari seberapa berhasil kita
mengimplementasikan spirit Ramadlan dalam bulan-bulan yang lain. Paling tidak
Ramadlan harus bisa kita jadikan sebagai pijakan awal untuk merubah diri
menjadi lebih baik. Tidakkah lebih baik bila budaya tadarus al-Quran
yang begitu terasa di bulan Ramadlan berlanjut ke bulan-bulan berikutnya?
Tidakkah begitu indah bila kebiasaan shalat jamaah dan i’tikaf di masjid
juga menular pada bulan selain Ramadlan?
Secara matematis memang tidak ada
salahnya menjadi kolektor pahala pada bulan Ramadlan. Namun, coba dikalkulasi
ulang, akan menjadi berapa banyak lagi pahala yang bisa kita dapat bila
semangat ibadah itu tidak hanya pada satu bulan Ramadlan saja. Hentikan budaya
TTM (Taubat Tapi Musiman). Sudah selayaknya kita lebih menghargai waktu yang
Allah berikan. Jatah kehidupan kita di dunia ini terus semakin menipis, sementara
kehidupan kita tentu tidak hanya ada di bulan Ramadlan saja. Allah adalah Tuhan
sepanjang waktu. Al-Quran adalah petunjuk sampai akhir zaman. Semoga Allah
memberikan kekuatan pada kita.