Prolog
Lazim diketahui bahwa Allah
menciptakan segala hal secara berpasangan. Pria dan wanita adalah bentuk
pasangan yang paling mudah untuk diangkat sebagai contoh nyata. Meski keduanya
berbeda, namun eksistensi manusia melalui proses reproduksi bergantung pada persatuan
keduanya. Bila pria identik dengan kekuatannya, maka wanita dikenal karena
kelembutannya. Seorang pria membuktikan kelelakiannya dengan kekuatan yang ada
pada dirinya, sementara seorang wanita harus berkarakter lembut untuk
menunjukkan sisi keperempuanannya. Singkatnya, ekspresi kekuatan, keperkesaan,
keagungan, dan sejenisnya itu merupakan karakter lelaki yang biasa disebut sisi
“maskulinitas”. Sebaliknya, ekspresi kelembutan, kasih sayang, dan cinta
merupakan representasi dari karakter wanita yang biasa dikenal dengan
“feminimitas”.
Sebagai ayat Allah,
baik maskulinitas ataupun feminimitas tidak bisa berdiri sendiri.
Kesempurnaannya sebagai sebuah ayat Allah hanya akan didapatkan bila
keduanya dipasangkan. Oleh sebab itu, dalam hal ini, baik “kelelakian” ataupun
“keperempuanan” tidak ada yang lebih tinggi antar yang satu dengan yang lain.
Justru keduanya bersifat saling melengkapi dan menyempurnakan. Wanita
melembutkan keperkasaan pria, sedang pria menguatkan kelemahan wanita.
“(Dia) Pencipta langit
dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan
dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu
berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia,
dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (QS. Asy-Syura [42]: 11)
Jamaliyah, Jalaliyah,
dan Kamaliyah
Jamaliyah secara
bahasa bermakna keindahan atau kecantikan, sedang jalaliyah berarti
keagungan atau kebesaran. Dalam kajian tasawwuf, istilah jamaliyah itu
diidentikkan dengan sisi feminimitas yang ada pada asma Allah. Sebaliknya, jalaliyah
merujuk pada maskulinitas sebagai penyempurna kelompok yang pertama.
Sebagian ulama memang mengklasifikasikan atribut nama yang dilekatkan pada
Allah (Asma’ al-Husna) pada dua kategori; jamaliyah dan jalaliyah.
Allah menampilkan sisi jamaliyah-Nya melalui nama-nama seperti al-Rahmān
(Maha Pengasih), al-Rahīm (Maha Penyayang), al-Salām (Maha
Penyelamat), al-Ghafūr (Maha Pemaaf), al-Shakkur (Maha Bersyukur), al-Mu’tī (Maha
Pemberi), al-Sabūr (Maha Penyabar), dan seterusnya. Sedangkan unsur jalaliyah-Nya
bisa diamati melalui nama-nama semacam al-Mālik (Maha Memiliki), al-Muhaimīn (Maha Pelindung), al-Mutakkabir
(Maha Sombong), al-Adhīm (Maha Agung), al-’Ali (Maha Tinggi), al-Kabīr (Maha Besar), al-Qawī (Maha Kuat), dan sejenisnya.
Sebagian Muslim ada yang
bertakwa kepada Allah melalui jalur jalaliyah-Nya. Allah dibayangkan
sebagai dzat yang memiliki kuasa penuh atas dunia dan seisinya. Mereka mentaati
perintah Allah karena Ia-lah penguasa dan Tuhan semesta alam. Ia akan menyiksa
mereka yang ingkar dan tidak mentaati titah-Nya. Mereka banyak didominasi oleh
para ahli hukum dan ilmu kalam. Kelompok Muslim yang demikian ini mendekati
Allah dari Asma “maskulin”-Nya. Sebagian yang lain justru menjadikan asma
“feminim” Allah sebagai cara berinteraksi dengan-Nya. Meski kelompok kedua ini
tidak menafikan aspek jalaliyah Allah, mereka meyakini bahwa kasih
sayang-Nya lebih luas dari amarah-Nya. Sisi feminimitas-Nya lebih dominan dari
maskulinitas-Nya. Keyakinan ini banyak diamalkan oleh mereka yang berkecimpung
di dunia tasawwuf atau penganut tariqah para sufi. Menurut Ibnu Arabi,
pemimpin dari Asma-asma Allah adalah al-Rahman (Maha Pengasih), karena
walaupun Allah memiliki amarah, sejatinya amarah itupun lahir dari rasa
cintanya kepada manusia.
Jalaliyah
(maskulinitas) dan jamaliyah (feminimitas) bersatu dengan indah
membentuk paduan yang serasi menjadi kamaliyah (kesempurnaan) Allah. Ia
bagaikan dua sisi mata uang yang melahirkan satu kesatuan yang utuh dan harmoni
yang indah. Manifestasi asma-asma Allah yang berbeda-beda itu dapat kita temui
dalam beragam ciptaan-Nya. Sisi keperkesaan Tuhan di satu sisi dan sisi
kelembutan di sisi yang lain bukan untuk dipertentangkan atau dimenangkan satu
dengan yang lain. Ia ada untuk saling melengkapi dengan fungsinya
masing-masing. Sekuat apapun lelaki harus tetap memiliki sisi kelembutan untuk
dapat didefinisikan sebagai manusia yang “baik”. Demikian juga, seorang
perempuan harus melengkapi dirinya dengan karakter kuat sebagai calon ibu rumah
tangga dan “sekolah pertama” bagi anak-anaknya. Tidak ada dunia yang bisa dibangun
dengan maskulinitas semata, pun tidak dengan feminimitas an sich.
Hanya saja, Para sufi,
melalui doktrin cintanya, banyak menggunakan pendekatan jamaliyah Allah
dalam keyakinan dan amal mereka. Satu di antara sekian banyak dalil yang
dijadikan sandaran kaum sufi ini adalah firman Allah dalam surat al-An’am ayat
54: “Tuhanmu menetapkan atas dirinya sifat kasih sayang”. Ini seakan menjadi
bukti bahwa dari dua karakter asma-asma Allah, karakter feminim (jamaliyah)
lebih banyak berperan ketimbang sifat maskulin. Bahkan Tuhan sendiri pun mewajibkan kepemilikan sifat
kasih sayang atas dirinya. Di mata kaum sufi, hubungan Allah dan
manusia tidak lagi bersifat khaliq-makhluq, pencipta dan yang
diciptakan, akan tetapi berubah menjadi hubungan antara kekasih dengan yang
terkasih. Bagi mereka, mendekati Allah melalui sisi maskulinitas-Nya hanya akan
menyebabkan Allah ditakuti dan dijauhi. Sebaliknya, melalui asma-asma feminimitas-Nya,
Ia akan memancarkan cahaya cinta dan kasih sayang yang mengajak manusia untuk berlari
mengejar dan mendekat pada-Nya.
Bahkan lebih jauh lagi, Ibn
Arabi menelurkan gagasan tentang kesempurnaan tajalli atau manifestasi
Tuhan pada diri wanita. Ibn Arabi meyakini bahwa semua yang ada di dunia ini
merupakan cerminan atau tajalli Tuhan. Pantulan Tuhan melalui alam seisinya ini bisa disaksikan
dalam diri manusia, karena
manusia adalah mikrokosmos (al-‘alam as-shaghir) dari alam raya sebagai
makrokosmos (al-‘alam al-kabir). Sehingga
pantulan Tuhan dalam diri manusia dinilai oleh Ibn Arabi lebih sempurna
dibanding pantulan atau cerminan Tuhan pada alam raya. Tetapi, di antara dua jenis manusia, yakni pria dan wanita, bagi Ibn Arabi, wanita adalah tempat paling sempurna sebagai tajalli
Tuhan.
Belajar Cinta
dari Rabi’ah Al-Adawiyah
Rabi’ah adalah wanita yang hidup pada abad ke-2
hijriyah. Bila Ibnu ’Arabi mempercayai wanita sebagai pantulan sifat-sifat
Tuhan yang paling sempurna, maka seharusnya kita banyak belajar dari mereka.
Bagaimana Rabi’ah Adawiyah mengekspresikan cinta pada Tuhannya bagi saya adalah
hal yang menarik untuk
dipelajari. Bukan karena sekedar ia tokoh sufi wanita –atau karena Tuhan mewajibkan
kita menghormati wanita- tapi lebih untuk membuktikan bahwa wanita memiliki
potensi yang luar biasa besar untuk menjadi makhluk agung di hadapan Tuhan.
Rabiah adalah tokoh sufi wanita yang sangat terkenal dengan konsep al-hubb al-ilahy atau
mahabbah (cinta Tuhan). Falsafah cinta dalam pandangan Rabi’ah dapat kita baca dari salah satu
komentarnya tentang cinta: ”tidak ada jarak antara yang mencintai dan dicintai.
Cinta adalah pengungkapan rasa rindu dan penuturan perasaan. Bila ia merasakan,
ia akan mengenal. Bila ingin menceritakannya, ia pun tidak akan dapat
menuturkannya. Bagaimana engkau akan menuturkan sesuatu, sedangkan engkau
sendiri lenyap di Hadirat-Nya, lebur dengan wujud-Nya, sirna karena menyaksikan-Nya. Dalam
kondisi sehat engkau mabuk dibuat-Nya...”
Ajaran cinta Rabi’ah yang
tersirat dalam syair-syair cintanya banyak yang dilanjutkan dan digemakan oleh
tokoh-tokoh sufi yang lain. Satu di antara syair hasil kreasinya adalah:
يا حبيب
القلب ما لي سواكا فارحم اليوم مذنبا قد اتاكا
يا رجائي
وراحتي وسروري قد ابى
القلب ان يحب سواكا
Duhai kekasih
hatiku, tiada bagiku selain-Mu
Ampunilah pendosa yang datang pada-Mu hari ini
Duhai harapan, kebahagiaan, dan kesenanganku
Hatiku telah enggan berpaling mencintai selain dari diri-Mu
Rabi’ah melewati
hari-harinya dengan tangisan. Sajadah tempat sujudnya senantiasa basah oleh
genangan air matanya. Bukan tangisan karena memikirkan kekasihnya di dunia atau
karena ia sendiri hidup dalam kemiskinan, tetapi karena kerinduan pada Allah
Maha Rahman, Maha Rahim, yang kasih sayang-Nya tiada tanding. ”Aku mengabdi
kepada Allah bukan karena ingin masuk surga atau takut
akan neraka,
tetapi karena cintaku pada-Nya”, begitu ungkapan Rabi’ah yang sangat masyhur.
Epilog
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana kita dapat menumbuhkan rasa cinta dalam
diri kita kepada Allah.
Untuk itu, ada beberapa usaha yang mungkin dapat dilakukan. Pertama,
adalah dengan mengenal Allah SWT dan mengimani-Nya dengan sebenar-benar iman.
Pepatah mengatakan: “tak kenal maka tak sayang”, sehingga usaha pertama kita
untuk menumbuhkan cinta adalah dengan menyelami makna nama-nama-Nya (al-asma’
al-husna). Berkaitan dengan hal ini, Ibn al-Qayyim Al-Jauziyyah pernah
mengatakan: “Sesungguhnya sifat dan nama-nama Allah SWT yang sangat indah,
dapat menarik hati untuk mencintai-Nya.”
Kedua,
adalah dengan mengingat betapa besar cinta dan kasih sayang Allah SWT pada
kita. Dengan mata yang Ia berikan, kita bisa melihat; dengan rizqi yang Ia
limpahkan, kita bisa makan; dengan bumi yang Ia hamparkan, kita bisa
mendapatkan tempat tinggal. ‘Tanda cinta’ Allah SWT untuk kita ini juga tidak
Ia cabut meski kita telah berkali-kali mengkhianati-Nya. Meminjam istilah Emha
Ainun Nadjib, Tuhan pun sesungguhnya berpuasa (menahan Diri), karena kalau
tidak, tentulah kita sudah diusir dari bumi-Nya dan tidak boleh berteduh di
bawah langit-Nya, sebagai akibat dari kedurhakaan kita atas perintah dan
larangan-Nya selama ini. Hanya karena besarnya cinta Allah pada kita itulah,
kita masih belum dihukum dengan azab, dan kalau kita meminta ampun pada-Nya
secara tulus, Ia pasti akan mengampuni kita.
Ketiga,
setelah mengetahui betapa besar cinta-Nya untuk kita, tentu sangat tidak pantas
bagi kita bila membiarkan cinta-Nya sampai ‘bertepuk sebelah tangan.’ Maka kita
pun harus membalas cinta-Nya yang sangat besar itu, dengan segenap cinta kita.
Cinta kita tersebut, yang merupakan jawaban atas cinta-Nya, pada akhirnya akan
menampakkan diri dengan sendirinya dalam pengabdian yang tulus kepada-Nya, dan
bahkan melimpah serta tumpah pada semua makhluk-makhluk ciptaan-Nya.