Alkisah, Kyai Bisri Mustofa menyebar
sejumlah santri utusan untuk menemui kyai-kyai Rembang. Mereka ditugasi
mengundang para kyai itu agar hadir di kediaman Kyai Bisri pada waktu yang
ditentukan, untuk suatu KEPERLUAN PENTING.
Maka terjadilah, pada waktu yang
ditentukan itu para kyai berkumpul di Leteh, Rembang.
“Keperluan penting apa ini,?” Mbah Kyai
Ma’shum bertanya.
“Nanti lah, ‘Yi” jawab Kyai Bisri,
“dahar-dahar dulu…”
Santri mengusung nampan nasi dengan
sambal terong di tengahnya, menyajikannya di hadapan para kyai.
“Monggo… monggo…” Kyai Bisri
mempersilahkan.
Para kyai pun kembul-terong-gosong
dengan nikmat sekali, diselingi obrolan-obrolan ringan dan guyon-guyon
nostalgia mengenang waktu masih mondok. Tanpa terasa, nampan licin tandas dan
semua merasa kenyang.
Para kyai meneruskan obrolan dan candaan
mereka, ditingkahi gelak-tawa yang gayeng sekali…. hingga akhirnya
salah-seorang kembali teringat,
“Lho… ini keperluan pentingnya kok nggak
mulai-mulai?”
“Iya”, Mbah Ma’shum pun menimpali,
“sekarang sudah makan, lekaslah… keperluan pentingnya apa?”
Dengan santai, Kyai Bisri menjawab, “Kumpul-kumpul
silaturrahim begini ini masa tidak penting?”
Makna
Secara bahasa, silaturrahmi berasal dari dua
suku kata: silah yang berarti menyambung dan al-rahmu atau al-rahimu
bermakna kerabat. Secara terminologi, kata silaturrahmi sebenarnya memang hanya
merujuk pada konteks hubungan kekerabatan dalam lingkup keluarga. Bahkan
sebagian ‘ulama’ menyempitkan lagi hanya pada mereka yang masih
berstatus mahram. Kendati demikian, istilah ini populer digunakan
masyarakat Indonesia dalam cakupan yang lebih luas. Silaturrahmi lumrah
dipahami sebagai aktivitas yang terkait dengan hubungan persaudaraan sesama
pemeluk agama Islam (ukhuwah islamiyah). Ada beberapa catatan yang harus
dipahami dalam permasalahan ini:
Pertama, batasan yang
diberikan sebagian ‘ulama’ adalah dalam rangka memudahkan dan menjaga
kepastian hukum. Sebab, melaksanakan silaturrahmi datang dari sebuah perintah yang
mengindikasikan hukum wajib. Ancaman pun diberikan bagi mereka yang justru
memutus tali silaturrahmi. Jika tingkat kekerabatan tidak dibatasi, maka
berarti setiap individu wajib untuk bersilaturrahmi dengan seluruh anak cucu adam,
karena masih bisa saja dianggap sebagai kerabat. Yang demikian tentulah sangat
mustahil terlaksana. Atas dasar itu sebagian ‘ulama’ merumuskan sebuah
batasan.
Kedua, berangkat dari poin
pertama, maka trend pemaknaan silaturrahmi yang cenderung luas tidak bisa serta
merta dianggap salah. Yang demikian bisa saja dihukumi sunnah atau mubah
atas nama ukhuwah islamiyah sebagaimana tersirat dari firman-Nya,
“sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara”.
Sederhananya, silaturrahmi
merujuk pada segala aktivitas dalam rangka menjalin kasih sayang antar saudara
seiman. Sebagian kalangan mungkin saja juga memasukkan hubungan persaudaraan
sesama manusia (ukhuwah basyariyyah) dalam pembahasan ini. Biasanya
dikenal dengan hubungan lintas agama atau antar penganut kepercayaan. Tapi, mengacu
pada ayat-ayat dan hadits tentang silaturrahmi, yang demikian tampaknya tidak tepat
untuk dipaksakan masuk dalam bab silaturrahmi.
Anjuran dan Ancaman
Dalam beberapa kesempatan, Nabi Muhammad SAW
menekankan pentingnya menjaga hubungan baik dengan kerabat dan sanak famili. Misalnya,
beliau bersabda: “Barang siapa yang beriman dengan Allah dan Rasul-Nya maka sambunglah
kerabatnya.” Dengan berbagai redaksi yang berbeda, Nabi di dalam haditsnya juga
mengemukakan keutamaan-keutamaan yang dijanjikan Allah bagi mereka yang rajin
bersilaturrahmi. Di antara yang paling sering disebutkan, silaturrahmi dapat
memperluas rizki dan dapat menambah umur.
Di
sisi yang lain, ancaman pun diberikan bagi siapapun yang memutus hubungan
kekerabatan. Allah berfirman: “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan
membuat kerusakan di muka bumi dan memutus kekeluargaan? Mereka itulah
orang-orang yang dila’nati Allah dan ditulikannya telinga mereka dan
dibutakannya penglihatan mereka.” (QS. Muhammad: 22-23). Senada dengan itu,
dalam bahasa yang lebih jelas, Nabi mengancam: “Tidak akan masuk surga orang
yang memutus kerabatnya.”
Dulu dan Kini
Kata orang, “beda dulu, beda sekarang.” Istilah
terhubung (connected) dalam konteks sosial mengalami pergeseran alat dan
metode. Sebelum sarana komunikasi secanggih hari ini, untuk bisa terhubung satu
dengan yang lain, tatap muka adalah salah satu cara yang paling sering
dilakukan untuk silaturrahmi. Itulah mengapa kata silaturrahmi di masa lalu
identik dengan bertamu. Kalau seseorang berkata kepada anda, “saya mau
silaturrahmi”, itu artinya dia secara tersirat mengungkapkan, “saya ingin
bertamu.”
Tapi
itu dulu. Kini, untuk dapat disebut terhubung, seseorang tidak harus saling
bertemu. Bahkan terkadang malah tidak saling mengenal satu dengan yang lain.
Dunia modern telah memungkinkan kita untuk saling berkomunikasi meski tersekat
oleh jarak dan waktu. Dengan sistem online, anda dapat mengobrol dengan
keluarga atau sahabat anda seolah saling berhadapan (face to face)
kendati sebetulnya anda terpisah ribuan mil jauhnya. Itulah sebabnya, jika ada
yang berkata kepada anda, “saya akan mengunjungi anda,” jangan buru-buru
menyimpulkan bahwa ia akan mendatangi rumah anda. Bisa jadi yang dimaksudnya
adalah mengunjungi facebook, blog, atau situs pribadi anda.
Di
blog atau sebuah situs biasanya ada sebuah aplikasi yang dapat menunjukkan
jumlah pengunjung (visitors). Ada juga penunjuk jumlah orang yang sedang
bertamu (online guests). Istilah toko atau berbelanja pun tidak lagi
identik dengan tumpukan barang atau pasar orang. Sudah ada online shopping
yang memungkinkan anda untuk berbelanja hanya dengan memainkan jari jemari pada
sebuah gadget. Si penjual dan pembeli tidak harus saling bertemu muka.
Proses penawaran dan kesepakatan harga dapat terjadi melalui percakapan (chatting)
secara online.
Singkatnya,
bertegur sapa dengan kerabat, saudara atau sahabat kini bisa dilakukan dengan
tanpa harus bertemu fisik. Untuk menjalin ikatan silaturrahmi tidak perlu lagi
ada reuni bulanan atau tahunan. Cukup membuat group di Facebook, Whats App,
Black Berry dan aplikasi sejenis, maka anda akan terasa hidup di bawah satu
atap rumah yang sama. Hebat bukan? Ya, memang hebat, tapi khusus bagi mereka
yang berjiwa pengecut.
Dunia Para Pengecut
Satu di antara setumpuk problem sosial di balik
canggihnya dunia komunikasi, menurut hemat saya, adalah mendidik seseorang
untuk menjadi pengecut. Anda bisa dengan bebas membicarakan, mengkritik atau
menghujat orang lain tanpa harus secara langsung menemuinya. Bahkan anda bisa
dengan nyaman menyembunyikan identitas asli diri anda. Anda bebas kritik sana
dan sini tanpa perlu bertanggung jawab terhadap apa yang anda tuduhkan dan
siapa yang terkena kata-kata pedas anda. Dunia maya di era modern memungkinkan
anda untuk menjadi seorang PENGECUT.
Dahulu,
orang yang melempar musuhnya dengan batu dari jarak jauh atau membunuhnya dari
belakang secara diam-diam disebut pengecut. Ia tidak memiliki sikap kejantanan.
Ia tidak berani berduel layaknya seorang jawara, saling berhadap-hadapan. Maka carok
atau peperangan dengan alat bambu runcing adalah contoh sikap kejantanan
tingkat tinggi. Semakin dekat jarak duel maka berarti semakin jantan. Demikian
pula sebaliknya. Maka lihatlah bagaimana senjata-senjata modern justru
sejatinya penuh dengan aroma kepengecutan. Dengan senjata laras panjang modern,
ada bisa bersembunyi sejauh 1 kilometer untuk membidik musuh dan lalu membunuhnya.
Bahkan dengan teknologi pesawat tanpa awak, anda tinggal duduk di dalam ruangan
memegang remote control sambil menembaki target yang anda suka.
Sementara musuh anda hampir dipastikan tidak akan sedikitpun mampu melukai
anda. Betul, itu cerdas. Tapi, itu PENGECUT.
Kalau
anda mau mengkritik seseorang, temuilah dia secara jantan. Sampaikan langsung
secara baik apa yang menjadi beban pemikiran anda. Jangan menjadi pengecut yang
bisanya hanya curhat dan membuka aib orang di dunia maya.
Kalau anda bersalah pada
seseorang dan ingin meminta maaf, datangilah kediamannya. Jangan hanya memelas
di status facebook dengan menambahkan icon menangis, seolah Tuhan akan
memaklumi sikap pengecut anda.
Mereka yang mendewakan dunia
maya sebagai sarana utama silaturrahmi adalah mereka yang berjiwa pengecut. Akhir-akhir
ini, budaya bertamu dalam rangka silaturrahmi sudah mulai memudar. Kata mereka,
melepas rindu bisa melalui telepon atau skype. Bermaaf-maafan juga cukup dengan
saling berkirim pesan via sms atau email. Bahkan kadang permintaan maaf saat ‘idul
fitri bisa dirapel untuk semua orang dengan cara memasang status di facebook
atau berkicau melalui twitter.
Maka jangan heran bila nanti banyak
rumah orang tua dan para guru yang semakin sepi dari kunjungan anak dan
murid-muridnya. Mungkin jiwa kepengecutan itu telah tumbuh subur dalam
pemaknaan silaturrahmi di era modern. Karenanya, saat mereka ditanya, “apa kamu
tidak kangen sama orang tua atau gurumu?” Mereka dengan ringan menjawab, “Aku
sudah telepon mereka kemarin.” Wal ‘iyadzu billah. Mudah-mudahan Allah
menjauhkan kita dari yang demikian.
Wallahu A’lam.